Di Ujung Penyesalan

Di ujung penyesalan - Bulan memancarkan sinarnya yang begitu terang. Menerpa wajah oval seorang pria 16 tahun yang sedang berada di darmaga. Bajunya begitu kotor dan basah karna oleh keringat. Sudah dari tadi subuh ia berada di darmaga sampai sekarang jam sembilan malam.

Sudah satu minggu belakangan ini ia jarang masuk sekolah. Dan lebih memilih untuk bekerja di dermaga pelabuhan, memindahkan barang-barang dari atas kapal ke kepal lainnya. Atau memindahkan ikan-ikan di dalam kotak yang berisikan batu es ke dalam truk yang akan mengangkutnya. Hal itu sangatlah melelahkan tapi apa boleh buat, memang itu yang harus dilakukannya jika ingin makan.

Kehidupan ekonomi yang begitu sulit membuat Roy remaja laki-laki berkulit sawo matang dan berambut ikal itu harus bekerja demi membantu perekonomian keluarganya. Jam sepuluh lewat 15 menit Roy pulang ke rumahnya, rumah kecil yang berjarak cukup dekat dari pantai.

Tak ada hiburan disini. Jangankan bermain internet seperti remaja kebanyakan, pesawat radio pun Roy tak punya.  Dulu sempat punya tapi sudah rusak, entah dimana sekarang bangkainya.

Semua badan Roy terasa pegal dan sakit. Ia membaringkan tubuhnya di atas kasur, bukan kasur empuk tapi di atas kasur yang ada duluan di banding Roy dan beralaskan kain panjang yang sudah t punya, tapi sudah rusak entah dimana sekarang bangkainya. lusuh.

Mata Roy susah sekali untuk terpejam. Ia teringat dengan apa yang ia temukan tadi pagi di dermaga. Itu sebuah cat dan kuas lukis, untung saja Roy punya buku gambar.

Pikiran Roy mulai menghayal kemana-mana untuk berimajinasi, mulai dari sebuah goresan cat bewarna biru dan akhirnya menjadi lukisan dermaga yang cukup indah bagi seorang pemula.

Lama kelamaan Roy mulai menggemari hal itu. Pergi pukul empat ke dermaga dan pulang pukul 10, melukis sampai jam 12 dan mulai meninggalkan pendidikan formalnya.

"Roy,......"  ibu Roy memegang pelan pundak anak pertamanya yang menjelma sebagai tulang punggung keluarga.

"Apakah kau benar-benar sudah tidak mau sekolah lagi" ibu mempertanyakan kepastian anaknya itu.

"Sekarang aku sudah mantap untuk benar-benar berhenti sekolah" Roy berusaha untuk meyakinkan ibunya. Ibunya hanya membalas dengan senyum kekecawaan Roy hanya punya ijazah SD.

*****

Waktu berjalan begitu cepat. Sekarang usinya sudah menginjak 23 tahun. Roy bertemu dengan seseorang yang mengubah hidupnya, seorang pelukis yang ternama yang membantu Roy untuk myenjadi seorang seniman.

Hidup di sebuah gubuk yang sangat panas di siang hari dan sangat dingin di malam hari. Hanya sekedar masa lalu.  Sekarang Roy adalah seorang maestro yang sangat terkenal. Kehidupannya mulai mapan. 

Dua minggu lagi akan diadakan pameran lukisan. Namun sayangnya Roy di tipu dan mengalami kerugian yang sangat besar. Roy merasa menyesal karena tidak menyelesaikan pendidikannya.

Jika seandainya dulu Roy menyelesaikan pendidikan, ia tak akan semudah itu untuk di tipu. Sekarang Roy baru benar-benar menyadari. Ilmu itu harta yang paling penting dan bakat itu ada karena usaha tapi juga butuh ilmu.

Di ujung penyesalannya, Roy mulai mengejar paket untuk melanjutkan sekolahnya. Tidak ada istilah terlambat untuk meraih sebuah impian. Roy yakin benar kalau bakat baru berfungsi jika ada ilmu. (*Penulis: Muhammad Ridho)