Anak Sang Mantan

Anak sang mantan – Suasana di ruang kelas membuatku sedikit gerah. Hawa panas menerobos masuk melewati pintu. Itu yang membuatku tidak meneruskan menerangkan pelajaran. Mencatatkan materi pelajaran di papan tulis. Setelah penuh papan tulis, tidak ada lagi tempat menulis, aku segera duduk kembali.

Keringat mulai membasahi seragam harian yang kukenakan, terutama bagian punggung, bahu dan ketiak. Aku sebenarnya tak mengeluh. Keadaan seperti ini nyaris kuhadapi setiap minggu di kelas itu. Ruang kelas over muatan oleh sekian murid sedangkan langit-langit ruangan kelas cukup rendah. Ventilasi yang ada di jendela kurang memadai untuk menyalurkan sirkulasi udara.

Selain itu, jadwal mengajar di kelas itu selalu pada jam terakhir. Mengajar mata pelajaran fisika pada bagian ujung jam pelajaran di hari itu, membuat aku sedikit kewalahan. Apalagi mata pelajaran yang kuajarkan ini tidak menarik bagi sebagian siswa. Mata pelajaran fisika dianggap sulit oleh siswa.

Rasanya ingin kutinggalkan kelas yang dihuni oleh siswa tergolong bandel dan hasil belajar rendah. Namun keinginan itu segera urung mana kala seorang siswi mengacungkan tangan. Semula aku pikir dia minta izin meninggalkan kelas.

       “Iya, ada apa? Mau minta izin? Mau ke kamar kecil?” tanyaku  memintas.

       “Bukan, pak. Bukan mau minta izin. Tetapi…apakah bapak haus?”

Gerrrrr!!! Mendadak kelas menjadi riuh oleh tawa siswa. Siswa yang mengacungkan tangan kebingungan. Dengan gerakan tangan aku menenangkan suasana sampai tenang kembali.

       “Iya, memang bapak lagi haus, kenapa?”

    “Biar saya jemputkan air putih ke kantor majelis guru, pak.” ujarnya bersungguh-sungguh.

Aku terdiam. Mita, siswa paling rajin ditunjuk ke depan kelas itu nampak serius. Kayaknya dia mengerti kalau aku memang lagi haus. Tapi bagaimana ya? Mau diizinkan?

     “Hm, terima kasih. Dengan senang hati, silahkan dibantu untuk menjemput minuman bapak di kantor,” ujarku mengizinkannya untuk meninggalkan kelas.

Beberapa menit kemudian Mita telah kembali membawakan segelas air putih.

    “Terima kasih, ya?”

     “Sama-sama, pak.” Sahutnya kembali kenuju meja belajarnya.

Ternyata, belum selesai aku mereguk air putih buat membasahi kerongkongan, bel tanda berakhirnya pelajaran berbunyi. Siswa pada berteriak kegirangan. Dan aku segera memberi aba-aba agar ketua kelas mempersiapkan ketua kelas untuk pulang.

Satu per satu siswa datang ke arahku. Menyalami dan mengucapkan salam. Mita menyalamiku pada giliran terakhir. Lalu dia terdiam di tempat. Seakan ada sesuatu yang hendak disampaikannya.  

     “Ada apa, Mita? Sepertinya ada sesuatu yang ingin kamu katakan,”

     “Hm… Tadi pagi mama titip salam buat bapak,” jawabnya agak ragu-ragu.

     “Salam balik kembali pada mamamu, ya?”

     “Iya, pak…” sahut Mita seraya menuju pintu kelas.

Mita segera membalikkan tubuh ketika aku memanggilnya kembali. Kemudian melangkah ke arahku.

     “Ada apa, pak?”

    “Oh, ya. Siapa nama mammu?” tanyaku sedikit penasaran.

     “Elfi…”

     “Elfi Sundari?” potongku cepat.

Mita mengangguk.

     “Ya, silahkan kamu boleh pulang,”
Simak juga : Guruku Cantik Sekali
Sementara aku masih terhenyak di kursi guru. Suasana kelas telah sepi. Aku tak menyangka kalau Mita Rahayu itu adalah anaknya Elfi Sundari, sang mantanku sekian tahun silam.Aku menepuk jidat sendiri. Pantasan…siswa bernama Mita itu agak mirip dengan wajah dengan Elfi. Ah, itu masa lalu.***