Surat Kaleng Indah yang Tercecer

Pak Syukri tersenyum kecil setelah berhenti berbicara. Dalam keadaan kelas seperti ini ia memilih diam ketimbang melanjutkan menerangkan pelajaran. Dua atau tiga siswa yang duduk barisan belakang ruangan kelas, terlihat kusuk kasak. Mereka seakan-akan mencuri kesempatan untuk berbicara.
          Dan itu jelas teramati melalui sudut mata pak Syukri. Posisinya berdiri, menulis di papan tulis saat menerangkan pelajaran agak menyamping. Dengan ekor mata akan dapat mengawasi semua siswa di kelas itu meskipun sedang menulis di papan tulis.
         “Sepertinya, ada sesuatu yang kurang beres pada anak-anak bapak yang duduk di bagian belakang,” cetus pak Sukri setelah melempar senyum kecilnya.
          Spontan semua mata menoleh ke arah belakang ruangan kelas. Ingin tahu apa yang terjadi dengan teman-temannya yang duduk di deretan bagian belakang. Yang merasa terganggu oleh tingkah temannya dibelakang melayangkan ucapan protes.
         Ada juga yang merespon dengan meneriakkan temannya yang telah menghentikan proses pembelajaran. Suasana kelas agak gaduh.
        “Sudah, sudah…” ujar pak Syukri memberikan isyarat dengan tangan untuk meredakan suara siswa yang duduk di bagian depan.
         Ketika suasana kelas sudah aman dan terkendali, pak Syukri menggaruk-garuk kepalanya yang memang tidak gatal.
        “Hm, yang lain diam, ya? Jangan berkomentar dulu karena bapak mau bertanya pada teman kalian yang duduk di bagian belakang,” kata pak Syukri dengan suara berat dan berwibawa. “Ada apa gerangan yang terjadi dengan kalian yang duduk di bagian belakang itu?”
         Siswa-siswa yang dimaksud pak Syukri tidak memberi respon. Namun tiba-tiba salah seorang di antaranya, maju ke depan kelas membawa sesuatu. Kemudian menyerahkan pada pak Syukri.
         “Apa ini?” tanya pak Syukri mengerinyitkan dahi.
      “Surat kaleng, pak,” sahut Jumadi menyerahkan secarik kertas seraya berbalik dan kembali ke tempat duduknya di belakang.
            Pak Syukri membacanya sekilas. Namun kemudian menyimpan dalam saku celananya. Setelah itu kembali pak Syukri melanjutkan menerangkan pelajaran.
           Di kantor majelis guru, pak Syukri membaca isi secarik kertas yang diserahkan siswanya tadi.
         Nita, kamu somse (sombong sekali) deh. Aku sudah lama suka padamu tetapi kamu cuek aja. Tidak kah kamu merasa salah seorang di antara temanmu menaruh simpati kepadamu? Salah seorang temanmu itu adalah aku… (dariku yang mengagumimu, ES).
         Pak Syukri geleng-geleng kepala seraya tersenyum kecil. Bukan main anak sekolah zaman sekarang. Masih SMP sudah pintar membuat surat dengan kalimat indah
        “Hm.., maaf pak. Bapak memanggil saya?”
         Pak Syukri terkesima. Salah seorang murid perempuan sudah berdiri di hadapannya.
         “Oh, ya…Benar. “ sahut pak Syukri sedikit gugup.
        “Kamu sudah mengetahui, kenapa dipanggil ke ruangan ini?
        Anita Swara, siswa perempuan itu menggeleng.
        “Hm, apakah selama ini kamu merasa ada teman kamu (laki-laki) yang begitu bersikap aneh kepadamu?”
         Anita terdiam.
        “Ya, coba kamu renung-renungkan sebentar. Mungkin ada di antara teman-teman kamu yang bersimpatik padamu,” timpal pak Syukri.
          “Hmmm, ada pak. Dia sering mengganggu Nita,…” akhirnya Anita teringat seorang temannya yang bersikap aneh kepadanya.
          “Namanya?” pintas pak Syukri cepat.
          “Edward Samsir, pak.”
          “Oh, Edward.” Pak Syukri manggut-manggut.
           Ia mulai menduga kalau pengirim surat kaleng yang dikantonginya, dengan inisial ES adalah nama yang disebutkan Anita barusan.
         “Kamu yakin yang menulis surat kaleng ini, Edward Samsir?” tanya pak Syukri seraya memperlihatkan secarik surat yang ditulis tangan..
         Anita terkejut bukan main. Perlahan diamatinya surat yang diperlihatkan oleh pak Syukri. Darahnya berdesir manakala membaca isi surat kaleng itu. Malu, takut, berbaur jadi satu. Ia yakin benar kalau itu adalah tulisan Edwar Samsir.
         “I…Iya…pak,” jawab Anita gugup.
         “Apa dasarnya keyakinanmu?”
         “Saya tahu bentuk tulisan tangan Edward, pak.”
       “Ya, sudah... Terima kasih. Tapi surat ini bapak simpan, dan kamu kembali ke kelas. Oke?”
        “Iya, pak.” Anita menyalami pak Syukri dan meninggalkan ruangan majelis guru.
     Keesokan harinya, pak Syukri memanggil Edward dan menasehatinya agar tidak mengulangi lagi perbuatan ceroboh tersebut. Pak Syukri memilih untuk tidak menyebarkan kasus penemuan surat kaleng di kelas itu. Tentunya agar kedua siswa tersebut tidak merasa malu.***