Cukup Mata yang Berbicara

Cukup mata yang berbicara - Hawa dingin mulai terasa menusuk tulang. Sebuah bus pariwisata bergerak pelan merayap. Terjebak dalam kepadatan lalu lintas Bogor dan Puncak.

Ilustrasi gambar (freepik.com)

Ariadi bersandar penuh pada jok tempat duduk bus. Memasang bantal kecil sehingga mengganjal belakang kepalanya. Kemudian menutupkan selimut warna orange yang disediakan bus pariwisata pada bagian bawah badannya.

Badan Ariadi terasa sudah agak hangat. Ia merasa sedikit nyaman dalam perjalanan panjang itu.

Laki-laki itu tidak peduli dengan hiruk pikuk dari sound system yang memutar lagu-lagu karaoke. Pun tidak terpengaruh oleh suara penumpang yang membawakan lagu-lagu Minang yang lagi trend.

Suasana lampu penerang dalam bus agak temaram. Mengundang rasa kantuk Ariadi.

Ariadi menutup muka dengan ujung selimut. Tindakan itu justru tidak membuatnya untuk tidur.

Pikirannya melayang jauh ke pulau Sumatera. Mengenang peristiwa sebelum berangkat ke ke Puncak Kabupaten Cianjur ini bersama rombongan rekan kerja....

Tuk...tuk...tuk... 

Terdengar pintu rumah diketuk malam itu. Ariadi enggan keluar kamar. 

"Ada pak Ariadi, buk ..?" 

Ariadi bangun ketika namanya disebut di luar sana.

Siapa yang datang? Ariadi tidak bisa mendengar jelas tamu yang datang dan mengetuk pintu.

"Ada, buk..." sahut orang di rumah.

Ariadi bangkit dan keluar kamar. 

Alangkah kagetnya Ariadi melihat siapa yang datang. 

"Aisyah!" gumam Ariadi.

Ariadi membuka pintu rumah agak semakin lebar.

"Pak, ini berkas tadi siang..." ujar Aisyah dengan suara gemetar sembari menyerahkan seberkas laporan kerja. Terlihat grogi melalui ucapannya.

"Masyaallah, Aisyah... Hujan hujan begini kamu antar berkas ini? Besok pun masih ada waktu kok ..." sahut Ariadi menyembunyikan rasa kikuknya.

"Besok aku ada keperluan, pak..." balas Aisyah. Aku permisi ya, pak..."

Sebelum menjawab Ariadi melihat seseorang telah menunggunya di halaman rumah. Suami Aisyah!

"Oh ya, pak Eko. Mari mampir dulu, pak..." Ariadi menawarkan singgah pada suami Aisyah.

"Terima kasih, tidak apa-apa kok, pak ..." sahut suami Aisyah masih di atas motornya.

"Permisi ya, pak ..." ujar Aisyah dan kemudian naik ke boncengan. Suami Aisyah hanya mengangguk untuk pamit.

Ariadi memandangi Aisyah yang duduk menyamping di atas boncengan.

Gerrr! 

Jantung Ariadi tiba-tiba bergetar manakala Aisyah melirik kearahnya sebelum ia menghilang di pojok tikungan....

Gila! Aisyah nekad malam-malam datang ke rumah. Diantar suaminya lagi!.

Memang, tadi Ariadi agak gugup melihat ekspresi wajah Aisyah. Ia merasa bersalah dan terlihat salah tingkah....

"Pak Ariadi, nyanyi lagi yuk, kita duet ..." seru Aisyah melalui pengeras suara, membuyarkan lamunan Ariadi.

Ariadi membuka ujung selimut yang menutupi wajahnya.

"Baik, Aisyah..." sahut Ariadi mengangguk.

Aisyah berjalan ke arah Ariadi melewati lorong bus untuk mengantarkan mik pengeras suara.

"Lagu apa, Aisyah ...?"

"Maunya pak Ariadi, lagu apa...?"

"Terserah, mana yang Aisyah suka..."

"Oke deh, pak ..." ujar Aisyah berbalik ke arah depan menemui operator karaoke di bus.

Ariadi dan Aisyah selesai membawakan salah satu lagu pop Minang duet, saat bus berhenti di depan sebuah hotel di Puncak Ciloto Cianjur.

Rombongan penumpang bus pariwisata dari Sumatera tersebut sudah menempati kamarnya masing-masing.

Ariadi menempati salah satu kamar yang bersebelahan dengan kamar ibuk-ibuk rombongan wisata edukasi tersebut.

Usai membenahi suasana dalam kamar hotel, Ariadi duduk di kursi ditemani kopi hitam.

Malam beranjak larut. Ariadi merasa kesepian. Ia sendirian di kamar karena dua teman sekamarnya belum datang.

Tuk, tuk, tuk...! Terdengar pintu kamar diketuk. Ariadi bangkit dan membuka pintu kamar.

"Assalamualaikum...." ucap Aisyah sedikit bergumam.

"Waalaikumsalam.... Aisyah....?" sahut Ariadi kaget. Mengecilkan ucapannya agar tak mengganggu orang lain.

Ariadi memandangi Aisyah. Ia seakan tak percaya melihat Aisyah ada di hadapannya. Tadi ia mengira teman sekamar yang datang.

"Maaf, aku sudah mengganggu pak Ariadi...." balas Aisyah merasa bersalah.

"Oh tidak mengganggu kok. Tadi hanya kaget saja..." balas Ariadi tersenyum.

"Pak Ariadi sudah ngantuk...?"

"Belum... Ada apa, Aisyah...?"

"Temani aku keluar yuk ..."

Ariadi tertegun sejenak.

"Iya deh, tunggu sebentar ya?"

Aisyah mengangguk.

Tak lama kemudian mereka sudah berada di taman bagian belakang hotel. Ariadi memilih duduk agak jarak di sebelah kanan Aisyah. Sekadar menghindari pandangan aneh dari orang lain di taman itu.

"Aisyah..."

"Iya, pak ..."

Ariadi tidak melanjutkan ucapannya. Mulutnya seakan terkunci. Ia menekur.

"Pak Ariadi mau bilang apa?" desak Aisyah dengan suara pelan dan lembut.

"Hm..., Kamu pernah bermimpi dalam tidur tentang aku...?" tanya Ariadi hati-hati.

Aisyah terdiam. Lalu, mengangguk. "Iya, pernah..."

"Aku juga bahkan sering bermimpi dengan kamu. Tapi aku tidak tahu entah kenapa bisa begitu," ujar Ariadi.

"Ya, kata orang mimpi itu bunganya tidur, pak...."

"Iya, konon begitu... Tapi bermimpi tentang kita tidak wajar, Aisyah..."

"Maksudnya?"

"Aku bermimpi dengan orang yang sudah bersuami..."

"Tak usah dipikirkan itu, pak..." 

"Iya, memang tidak perlu dipikirkan. Tapi..."

Aisyah melirik sekilas pada pria yang berumur terpaut jauh dengannya. Kemudian memandangi Ariadi menanti lanjutan ucapan pria rekan kerja disampingnya.

"Aku sudah lama simpati kepadamu. Tapi selama ini aku takut menyampaikannya padamu...."

"Pak..., jangan diteruskan. Aku takut mendengarnya..." potong Aisyah.

Ariadi memandang wajah Aisyah di tengah cahaya lampu penerang taman.

"Kenapa, Aisyah?"

"Berbahaya buat pak Ariadi dan aku sendiri..."

"Iya, aku paham..." balas Ariadi manggut-manggut.

"Kita jalani saja hidup ini pak. Termasuk malam ini. Pak Ariadi pasti sudah paham kenapa aku minta ditemani kesini..."

Kembali Ariadi manggut-manggut.

"Ya, benar katamu. Kita jalani saja hidup ini. Kita jaga rahasia hati ini agar tidak terbongkar oleh siapa pun...."

"Nanti, di tempat kerja juga sama-sama kita jaga, pak..." timpal Aisyah.

Malam semakin larut dan sudah memasuki dini hari. Kedua insan itu sudah meninggalkan taman. Kembali ke kamar masing-masing. 

Tak perlu ditunjukkan secara terang-terangan. Cinta cukup dalam hati. Biarlah mata yang berbicara. Karena bahasa mata paling unik apalagi bahasa cinta terlarang.***