Sahabatku Besanku (Bagian Pertama)

Sahabatku besanku (Bagian pertama) - Pak Saldi memperlambat laju mobilnya ketika mendekati mulut pertigaan jalan. Kemudian membelok ke kiri dan melewati jalan sempit. Tidak banyak rumah penduduk di kiri maupun di kanan jalan desa yang berbatu-batu.

Ilustrasi gambar (pixabay.com)

"Jelek banget jalannya ya, pa..." celetuk gadis kecil yang duduk di samping pak Saldi.

Fina, gadis kecil anak pak Saldi berkomentar karena merasa tak nyaman di atas mobil saat melewati jalan desa berbatu-batu.

Gadis kecil yang baru duduk di kelas 7 es-em-pe itu terlihat cantik sekali. Jika ditilik dari orang yang sedang nyetir mobil, papanya Fina, memang tampan. Mungkin mamanya juga cantik jelita.

Nah, kalau papanya tampan dan mamanya cantik jelita maka wajar kalau anak gadisnya juga cantik!

"Ya..., maklum saja, Fin... Ini jalan desa di area persawahan. Rumah penduduk di pinggiran jalan juga tak seberapa," balas pak Saldi memberi pengertian pada putrinya.

"Kenapa berhenti, pa?" tanya Fina heran ketika pak Saldi tiba-tiba menghentikan mobil.

Pak Saldi tak menjawab. Ia melihat seorang anak duduk sendirian di bawah pohon pelindung. Tapi kepala anak itu ditekuk pada kedua lututnya sehingga wajahnya tidak terlihat jelas.

"Fin, itu ada anak duduk di bawah pohon. Papa coba tanya dulu pada anak itu siapa tahu ia mengetahui alamat rumah yang kita cari," kata pak Saldi membuka pintu mobil.

"Oh, iya pa ..." 

"Kamu tunggu saja disini..."

"Baik, pa..."

Pak Saldi melangkah pelan menuju anak yang masih memeluk lutut dan kepala ditekuk.

"Nak... Kamu kenapa? Boleh bapak bertanya?" sapa pak Saldi perlahan.

Sang anak mengangkat wajah dan melihat ke arah pak Saldi. Dengan cepat ia menyusut air mata dengan bajunya yang sedikit kumal.

Pak Saldi menjadi terenyuh. Mata anak itu merah. Rupanya anak itu sedang menangis sedih.

"Kenapa kamu menangis, Nak?" tanya pak Saldi sembari berjongkok di samping anak itu.

"Goreng pisang jualan saya... belum ada yang beli, pak..." sahut anak itu kembali menangis dan terisak.

Pak Saldi memperhatikan baskom tertutup plastik di hadapan anak itu. Kemudian membuka plastik penutup baskom berisi goreng pisang itu. Lalu pak Saldi menutupnya kembali.

Pak Saldi semakin hiba melihat ekspresi anak yang sedang menangis di sampingnya.

Pak Saldi memperhatikan sekali lagi wajah anak penjual goreng pisang itu dari samping. Menilik anak itu, pak Saldi seakan melihat wajah seseorang.

"Ya, tak salah lagi. Wajah pak Sulaiman, sahabatnya sewaktu es-em-a dulu. Kini aku sedang mencari sahabatnya itu di desa ini," kata pak Saldi membatin.

"Bapak mau mencari seseorang di desa ini. Boleh bapak bertanya?" tanya pak Saldi kemudian.

"Iya, boleh pak..." Anak itu mengangguk.

"Nama kamu siapa, Nak?"

"Budi..."

"Oh ya, Budi.... Bapak mau berkunjung ke rumah pak Sulaiman di desa ini. Kamu mengetahui rumah pak Sulaiman?"

Budi terkesiap.

"Itu bapak saya sendiri, pak...." 

"Masyaallah, kamu anak pak Sulaiman?"

Budi mengangguk pelan.

"Kalau begitu, antar bapak ke rumah kamu sekarang, Nak Budi..." sahut pak Saldi antusias.

"Tapi saya takut pulang, pak. Jualan saya masih banyak, nanti dimarahi bapak saya..." potong Budi sangat khawatir.

Pak Saldi tersenyum. "Kamu jangan khawatir, Nak. Semua goreng pisang jualanmu akan bapak borong..." balas pak Saldi.

"Benar ya, pak?" 

Pak Saldi mengangguk. "Masukkan semua ke dalam kantong kresek," suruh pak Saldi.

"Ini, pak..." Budi menyerahkan kantong kresek berisi goreng pisang.

"Berapa semua, nak Budi?"

"Seratus ribu, pak..."

Pak Saldi merogoh dompet dan mengeluarkan 4 lembar pecahan lima puluh ribu. Lalu menyerahkan kepada Budi.

Budi malah terdiam. Agak ragu ia menerima uang sebanyak itu.

"Ayo, terima saja nak Budi..."

"Terima kasih, pak..." Akhirnya Budi menerima uang itu di tangan pak Saldi.

"Iya, mari kita ke mobil bapak dan antar kami ke rumah nak budi," 

"Baik pak..."

Fina tercengang ketika orang tuanya menjinjing bungkusan besar dari kantong kresek. Sementara itu papanya juga membawa seorang anak yang kini sudah duduk di jok belakang sembari memeluk baskom.

"Fina, kamu jangan terkejut. Anak ini namanya Budi, anak pak Sulaiman. Jadi, ia akan mengantar kita sampai ke rumahnya." pak Saldi menjelaskan.

"Oh, iya pa..." sahut Fina sembari mengangguk ramah ke arah Budi.

Mobil Avanza warna hitam itu kembali bergerak pelan. 

"Itu rumah saya, pak..." seru Budi seraya menunjuk rumah berdinding papan di sebelah kiri depan.

Simak lanjutannya :

Sahabatku Besanku Bagian Kedua 

Pak Saldi membelokkan mobil memasuki gerbang bambu pekarangan rumah pak Sulaiman.*** (Bersambung).