Dari Lidah Turun ke Hati

Dari lidah turun ke hati – Bianda meraih hp di atas mejanya dengan setengah malas. Barusan ia menerima pesan WA dari pengirim yang tidak terdaftar di kontaknya. Foto profil pun tidak ada. Yang tercantum hanya nomor telepon pengirim pesan.

Ilustrasi gambar (freepik.com)

 “Maaf, ini nomor Uda Bianda, bukan?” tulis si pengirim pesan. Bianda membalasnya, ” Iya, betul. Ini siapa?” 

“Saya Ira. Ini nomor yang pernah Uda berikan tempo hari, saat mampir bersama teman-teman Uda di warung makan kami...” balas Ira.

"Oh, maaf Ira... Uda kira tadi siapa..."

Bianda segera menambahkan nomor baru itu ke daftar kontak WA. Ternyata di info kontak tertulis nama Zahira. Bianda mengedit nama di daftar kontak menjadi Zahira.

Kini foto profil dan nama Zahira sudah muncul. Bianda mengetuk profil sehingga tampilan gambar profil lebih besar.

“Terima kasih ya, Uda bersama rombongan sudah mampir di tempat kami...."

“Iya, sama-sama...”

“Oh ya, bagaimana kesannya setelah mampir dan makan di tempat kami...?”

Bianda terdiam. Ia berpikir sejenak, mencari ide untuk membalas chat Zahira.

“Wah, luar biasa, Ira... Teman-teman Uda juga bilang begitu. Dari lidah sampai ke hati. Dan....” Bianda menggantung kata-katanya.

“Dan..., dan apa Uda?” Zahira cepat membalasnya.

“Hmmm... Itu lho, pelayanannya lebih istimewa. Orangnya ceria dan cantiiiikkk lagi....”

“Gomballllll...”

Bianda tersenyum geli.

“Hehe...” tulis Bianda yang disertai emoticon tersenyum malu.

Ternyata Zahira telah menutup chat dan offline. Kemudian Bianda juga melakukan hal sama.

***

Keesokan harinya Bianda menghubungi Zahira melalui panggilan telepon WA. Ternyata wanita itu langsung mengangkat telepon.

“Apa kabar, Ira?”

“Baik.. Uda bagaimana?”

“Uda baik-baik saja...”

“Syukurlah, berarti Uda dan rombongan telah selamat sampai di rumah...” balas Zahira.

“Haa? Benarkah Uda mau kesini lagi, kapan...?” seru Zahira ketika Bianda bilang ingin kembali ke warung Zahira.

“Iya, Ira.... Kapan-kapan saja bila ada waktu dan kesempatan....”

“Pengin makan lagi di Ampera Kita atau...., pengin ketemu orangnya...” goda Zahira sambil tertawa.

“Gimana ya....? Hmmm, kedua-duanya....”

“Nah, ketauan, Uda menggombal lagi....”

“Ini serius....”

Pemilik suara di seberang sana terdiam.

“Kenapa diam?”

“Tidak kenapa-kenapa...,”

"Ada rencana tidak pulang ke kampung?"

“Ada, rencananya menjelang bulan puasa ini. Mungkin saat itu Uda bisa datang ke rumah saya...” pintas Zahira.

“Horeee...” Bianda berseru kegirangan. 

“Duh, segitu gembiranya pak guru ini....”

“Ya, iya dong....”

Bianda mengakhiri percakapan itu setelah pamit pada Zahira.

***

Bianda menyandarkan punggung pada sandaran kursi kerja di rumahnya. Pikirannya melayang jauh ke salah satu tempat yang dikunjunginya bersama rekan kerjanya beberapa hari yang lalu....

“Buk, saya pesan gulai cancang...” ujar Bianda ikut memesan menu yang dipajang di etalase menu masakan.

Bianda tidak sendiri, rekan kerjanya yang lain juga antri berdiri memesan menu di warung makan itu.

“Baik, pak...” sahut wanita yang sedang sibuk melayani pesanan menu itu sembari melempar senyum.

Tak berapa lama kemudian terdengar suara riuh oleh obrolan dan gurauan ibuk-ibuk yang telah siap makan.

Wanita pemilik warung makan terlihat ikut diantara ibuk-ibuk itu.

Bianda yang duduk di meja bagian dalam bersama bapak-bapak samar-samar mendengar obrolan mereka.

Rupanya Zahira satu kampung dengan rombongan yang singgah di warung makan ini. Pantasan mereka terlihat akrab meskipun baru pertama kali berjumpa.

“Ira, bapak yang pakai topi hitam itu sedang jomblo....” ujar seorang ibuk menunjuk ke arak Bianda. 

Bianda yang sedang menyeruput kopi hangat usai makan, nyaris tersedak.

Hanya Bianda yang memakai topi hitam di ruang makan itu.

“Kalau begitu mintak nomor hp buk Ira, pak Bian...” sambung Usrial yang duduk di sebelah Bianda ikut menyela.

Bianda hanya geleng-geleng kepala. Ia merasa dikerjain.

“Atau catat nomor hp pak Bianda dan berikan pada buk Ira...” timpal Usrial. 

Usrial berdiri dan meminta secarik kertas kecil. Kemudian Bianda menyalin nomor hp-nya. Usrial pun memberikannya pada buk Zahira.

Ketika rombongan hendak kembali naik bus, Bianda sempat bersalaman sambil ngobrol dan bergurau dengan Zahira. Lama sekali berjabatan tangan.

Seperti layaknya di sinetron, spontan terjadi menit-menit perpisahan. Adegan melepas kepergian Bianda dan rombongan berlangsung romantis.

“Sekarang, saya mulai panggil  Uda...” ucap Zahira.

“Saya juga, akan panggil Ira, bukan ibuk...” balas Bianda masih menggenggam tangan Zahira.

“Selamat jalan, ya Uda...”

“Iya... Sampai jumpa, tapi entah kapan lagi kita dapat bertemu....”

“Kita pasti akan bertemu lagi, Uda ...” tukas Zahira. Bianda melepas tangan Zahira. Dan, adegan itu akhirnya diiringi tepuk tangan orang-orang yang menyaksikannya.

Bianda dan penumpang di atas bus melambaikan tangan. Zahira membalasnya.

Bus pariwisata sudah meninggalkan Rumah Makan Ampera Kita.

Bianda menghela nafas. Ia merasakan sesuatu yang tertinggal, Zahira!

Bianda baru menyadari, berawal dari lidah yang mengecap masakan, ternyata telah turun ke hatinya.***