Biar Mata yang Berbicara

Alfin kaget bukan main. Ia tidak mengira gurauan yang barusan dilontarkannya ternyata membuat Medina marah.

Ilustrasi gambar (pixabay.com)

“Aku tak ingin mendengar gurauan mas Alfin seperti itu lagi. Aku sudah bersuami, tau...!” seru Medina membentak. 

Nada suara Medina meninggi sehingga orang lain di ruang kantor itu ikut kaget dan terdiam.

Alfin pun terdiam. Menundukkan kepala karena malu dibentak perempuan dengan kata-kata pedas di depan rekan kerja sendiri.

“Maafkan aku, Din...” Akhirnya Alfin memberanikan diri bersuara pelan sembari mengangkat wajah tanpa menoleh kepada Medina. Suara Alfin nyaris tidak terdengar.

“Aku tidak suka cara mas berbicara denganku seperti tadi!” tukas Medina dengan nada suara mulai menurun.

Alfin menoleh kearah Medina yang duduk dibatasi oleh sebuah meja kerja di ruang kantor itu.

“Aku berjanji, tidak akan mengulanginya lagi, Din...” ujar Alfin dengan nada suara masih bergetar dan gugup.

Akan tetapi Medina terlihat tidak peduli dengan ucapan Alfin. Ia hanya menatap layar laptop di hadapannya seraya memain-mainkan mouse laptopnya.

Tidak ada yang tahu kalau hati Medina sedang galau saat itu. Ia menyesal telah mempermalukan Alfin di depan orang lain.

Medina bangkit dan bergegas keluar ruangan. Semua mata memandang  kearah Medina sampai menghilang di balik pintu.

“Lain kali pak Alfin harus hati-hati bergurau dengan buk Medina. Lihat-lihat dulu situasinya...” ujar Dino menasehati.

“Iya, pak Dino. Terima kasih nasehatnya.” balas Alfin.

Dino yang duduk di sebelah Alfin tersenyum kecil. “Buk Medina akhir-akhir ini memang terlihat agak sensi. Sebaiknya pak Alfin susul dia kemudian minta maaf lagi,” saran Dino.

Medina sudah berada di cafe belakang kantor itu. Ragu-ragu Alfin masuk ke cafe. 

“Boleh aku duduk?” ujar Alfin minta izin.

“Siapa yang melarang...?” sahut Medina agak ketus. Ia membuang muka ke arah lain.

Alfin duduk di kursi seberang meja Medina. “Kamu memaafkan aku, Din?”

Medina pura-pura tidak mendengar.

“Ya, sudah kalau tak mau...” ujar Alfin tidak berniat memaksa.

Alfin memesan kopi hitam. Kemudian langsung hendak menyeruput kopi yang  mengepulkan asap pertanda sedang panas.

“Mas Alfin...! Kopinya masih panas!” Tiba-tiba Medina berseru. Mengingatkan Alfin agar jangan meminum kopi yang masih panas itu.

Alfin mengurungkan niatnya. Meletakkan kembali cangkir kopi di tadahnya.

“Terima kasih, kamu sudah mengingatkan. Kalau tidak pasti sudah melepuh lidahku...” ujar Alvin sembari memandang sekilas pada Medina.

Medina mengangguk.

“Mas Alfin...”

“Iya,”

“Mas janji ya, tidak bergurau lagi seperti tadi. Aku malu di dengan teman...” cetus Medina.

Ada angin apa gerangan? Kini di telinga Alfin suara Medina terdengar lembut.  Mencairkan suasana beku yang telah membuat Alfin galau.

“Oke. Oke ... Dina, aju janji....” balas Alfin kemudian.

Alfin memandang  sekilas wajah Medina. Ternyata Medina juga sedang memandangnya. Namun segera Medina menunduk.

Meski hanya beberapa detik saja, Alfin dapat membaca pesan yang tersirat di bola mata Medina. Biarkan mata yang berbicara!

Jangan sampai tahu siapapun apa yang telah terjadi antara mereka. Di depan teman-teman sekantor bersikap dan bertindak biasa-biasa saja, jangan sampai teman lain curiga.

Alfin manggut-manggut. Ia ingat, Medina pernah berpesan dulu: “Mas, biasa-biasa saja agar teman tidak menaruh rasa curiga.”

Kini Alfin mengerti dan maklum kenapa sikap Medina di ruang kantor tadi begitu keras.

“Kenapa manggut-manggut sendiri, mas...?”

“Nggak kenapa-kenapa kok...”

Medina tersenyum kecil.

“Kok senyum-senyum segala, ada yang lucu?” protes Alfin.

“Nggak. Nggak ada yang lucu,” balas Medina mengangkat bahu.

“Aku jadi ingat, biar mata yang berbicara...”

Medina tersenyum.

“Ya, sudah. Kita masuk kantor lagi...” ujar Alfin.

“Aku duluan, mas. Tak enak dilihat teman-teman kalau kita bareng...”

Alfin mengangguk.***