Di Terminal Dobok Batusangkar

Sebuah angkutan pedesaan memasuki terminal Dobok. Menurunkan beberapa orang penumpangnya, kemudian berlalu keluar terminal kembali. Salah seorang di antaranya lelaki mengenakan kaos oblong dengan stelan jeans usang.

Sebuah ransel pakaian tersandang di bahu kanannya. Ia barusan dari rumah temannya di sebuah negeri di Kecamatan Padang Ganting. Sudah tiga hari ia berada di rumah temannya dalam rangka takziah. Teman kuliah dan satu tempat kost di kota Padang.

Alizar, lekasi muda itu nampak nyengir kepanasan ditimpa terik matahari menjelang sore. Ia nampak kebingungan. Baru kali ini ia singgah di terminal kota budaya ini.

Wajahnya yang ditumbuhi jerawat mulai memerah diterpa sinar matahari. Alizar mencari-cari tempat berlindung. Ia duduk di bangku kayu di depan loket pembelian tiket  Bangku kayu memanjang yang sengaja disediakan petugas loket sebuah perusahaan angkutan umum di terminal Dobok Batusangkar.

Area terminal memang tidak terlalu luas. Namun demikian kendaraan dan orang-orang yang bersiliweran di dalam terminal, tidak begitu ramai.

Sesekali ia mengedarkan pandangan ke sekitar area terminal. Mencari-cari mobil angkutan untuk melanjutkan perjalanan pulang ke negerinya di Sumani.

“Ha, itu dia!” Alizar bergumam.

Spontan Alizar bangkit dan menuju angkutan berwarna merah dan putih tersebut.

“Solok Solok Solok…” teriak agen terminal mencari calon penumpang yang akan ke kota Solok.

“Solok…” seru Alizar.

‘Ya, Solok naik….”

Alizar naik dan masuk ke dalam mobil angkutan. Sejenak melirik tempat yang masih tersedia untuknya. Lantas menempati bangku persis di sebelah seorang perempuan. Tanpa melirik kesana kemari, Alizar meletakkan ransel pakaian di pangkuannya.

Sekadar iseng, Alizar menoleh ke arah perempaun yang duduk di sebelah kanannya. Sekilas ia menilik perempuan ini kira-kira seusia dengannya. Sepertinya wanita ini sudah bekerja.

“Mau ke Solok juga, buk?” Alizar bertanya dengan sapaan. Sekadar mengusir kesepian hatinya.

“Iya, Uda juga?” Wanita itu balik bertanya.

“Nggak sampai kesana, Sumani.”

“Oh, Sumani. Saya hanya sampai di Kacang,”

“Kerja apa, buk?” tanya Alizar kemudian.
“Guru,”
“Oh..,”
“Uda?”
“Kuliah. Calon guru juga, hehehe..Hm, kalau boleh saya panggil siapa ke ibuk?”
“Yunita…, panggil saja Yuni,” ujar Yunita.
“Saya, Alizar…biasa dipanggil Ali…”balas Alizar tanpa diminta.
Angkutan umum yang berusia lanjut itu segera berangkat meninggalkan Terminal Dobok Batusangkar.
Tak begitu lama, bus ukuran tiga perempat itu sudah sampai di Ombilin. Kemudian menikung ke kiri menuju Solok. Alizar menoleh ke luar jendela kaca bus. Menyaksikan indahnya pemandangan danau Singkarak di sore hari.
Sesekali Alizar mencuri pandang dengan berpura-pura menengok birunya air Danau Singkarak. Sebaliknya, Yunita merasa risih. Gadis itu dapat merasakankalau dirinya dipandang oleh lelaki yang baru dikenalnya itu.
Tanpa terasa Yunita sudah sampai di tujuannya. Ia turun dan kendaraan yang membawa Alizar terus berliku-liku menyusuri pinggiran danau Singkarak.
*****
Kebetulan masa liburan semester sehingga Alizar dapat berkunjung ke rumah tempat kost Yunita. Tak begitu rumit bagi Alizar untuk mencari tempat kost Yunita. Sore itu ia telah sampai di tempat kostnya. Kebetulan Yunita sudah pulang bertugas.
Mereka bercengkrama dengan leluasa di ruang tamu tempat Yunita kost. Begitu lancar, kata-kata mengalir dengan pelan bagai air pegunungan. Sejuk dan nyaman. Saling bercerita tentang diri masing-masing. Entah kenapa mereka begitu cepat akrab dan saling membuka diri, membuka hati.
Di hari terakhir libur semeteran di kampung, Alizar mampir kembali ke rumah kost Yunita. Alizar ingin berterus terang tentang perasaannya kepada Yunita. Ternyata Yunita membalas isi hatinya.
Ketika sampai di kota Padang, Alizar menulis surat untuk Yunita. Surat pertama yang ia tulis untuk gadis yang telah membetot sukmanya. Seminggu kemudian surat balasannya datang.
Semangat Alizar kembali bangkit karena Yunita juga merasakan apa yang ia rasakan. Begitulah, mereka saling kirim surat bila rasa kangen itu datang. Alizar ingin cepat menyelesaikan kuliahnya. Kalau bisa waktu ini bisa disetel seperti menyetel jam dinding.
Cepat selesai kuliah berarti cepat pula untuk bersanding di pelaminan dengan sang pujaan hati. Angan-angan Alizar semakin melambung tinggi di awan biru.   
*****
Hari demi hari berlalu begitu cepat terasa. Jarak yang memisahkan antara Alizar dan Yunita bukan menjadi hambatan dalam jalinan kasih mereka. Surat menjadi penyambung rasa antara mereka berdua.
Akan tetapi, surat terakhir yang ditulis Alizar tidak kunjung dibalas oleh Yunita. Ini membuat hati Alizar semakin was was. Apa gerangan yang terjadi dengan Yunita? Hal ini telah mendorong Alizar untuk datang menjumpai Yunita ke rumah orangtuanya di hari Minggu itu.
Kini, Alizar sudah sampai di Terminal Dobok dengan menaiki bus Antar Kota Salam Provinsi. Sejenak ia beristirahat di ruang tunggu terminal sambil menunggu angkutan kota yang hendak menuju desanya Yunita.
 “Uda temannya kak Yunita, bukan?”
Seorang gadis kecil penjaja minuman bertanya menyapa. Alizar menoleh ke arah penjual minuman itu. Rasanya Alizar mengenal gadis kecil itu. Ia ingat, gadis itu adalah tetangga Yunita.
“Betul, Dik. Kamu tetangganya kak Yunita, bukan?” Sahut Alizar balik bertanya.
“Iya, kak…Kakak pasti mau ke rumah kak Yunita” tebak gadis itu.
“Iya. Rencana Uda memang mau ke rumah kak Yunita,”
“Hm, sebaiknya Uda jangan ke rumah kak Yunita sekarang!”
Alizar terperangah. Penasaran mendengar ucapan gadis penjaja minuman itu.
“Kenapa begitu, dik?” tanya Alizar kemudian.
“Kak Yunita berpesan, kalau bertemu dengan Uda di terminal ini, bilang jangan datang ke rumahnya,” kata gadis kecil itu semakin membuat hati Alizar diliputi rasa penasaran dan galau.
“Dik, tolong katakan, ada apa dengan kak Yunita?” desak Alizar.
“Jadi, Uda belum tau, ya?”
Alizar menggeleng.
“Kak Yunita akan menikah…”
Alizar tersedak. Kepalanya terasa berat dan tertekur ke lantai. Lidahnya terasa kelu. Jantungnya seakan berhenti berdenyut. Sulit mempercayai ucapan gadis kecil di depannya ini.
Alizar berusaha mengangkat kepalanya yang terasa semakin berat.
“Benarkah begitu, Dik?”
Gadis kecil itu mengangguk. “Permisi Uda, saya mau jualan dulu,” ujar gadis itu meninggalkan Alizar.
Alizar melangkah lesu. Melangkah ke bangku panjang di depan loket penumpang yang pernah ditempatinya saat pertama kali ke terminal ini enam bulan lalu.
Kini Alizar jadi tahu jawabannya. Pantasan surat terakhirnya dua minggu lalu, tak pernah dibalas Yunita.
“Uda, maafkan Yunita ya…,” Sebuah suara terdengar lamat-lamat di telinga Alizar. Alizar hafal betul si pemilik suara itu.
Alizar mengangkat wajah. Yunita telah berdiri di depan Alizar.
“Yuni…” suara Alizar terdengar berdesis seraya berdiri. Menatap wajah Yunita dengan mata kuyu..
“Uda, maafkan Yuni, ya?. Uda janganlah marah, karena semua ini sudah nasib kita berpisah. Mungkin kita tak berjodoh, Uda...” Suara Yunita terdengar serak menahan rasa yang sulit diungkapkan pada lelaki di hadapannya. Lelaki yang diyakini hatinya terluka menghadapi kenyataan ini.
“Yuni, selamat ya?” kata Alizar seraya menyodorkan tangan menyalami Yunita. Meskipun berat, Yunita mencoba menyambut uluran tangan Alizar. Yunita tak dapat menahan air matanya.
Ingin Alizar menyapunya biar tak lagi membasahi pipinya. Namun Alizar merasa tak berhak lagi melakukan itu. Semuanya sudah berakhir.

Setelah itu Alizar berbalik dan meninggalkan Yunita yang masih terpaku di tempatnya. Membawa hati dan pikiran yang galau. Ia melangkah ke luar arena terminal Dobok.

Di terminal Dobok ini pertama kali Alizar berjumpa dengan Yunita. Ternyata di terminal ini pula semuanya harus berakhir.***