Tradisi Adat Kematian Pangulu Suku di Nagari Taluk

Tradisi adat kematian pangulu suku di nagari Taluk - Tradisi atau adat merupakan kebiasaan turun temurun yang diwariskan nenek moyang kepada anak cucu mereka dan menjadi bagian dari kehidupan bermasyarakat. Tapi sekarang banyak daerah-daerah di Indonesia yang tradisinya sudah mulai pudar, bahkan hampir punah.

Itu karena perkembangan zaman yang membuat kita tidak menganggap tradisi itu sebagai suatu hal yang patut dilestarikan.

Di provinsi Sumatera Barat, lebih tepatnya di Nagari Taluk, tradisinya masih terjaga dan masih dipakai dalam kehidupan bermasyarakat, meskipun masih ada sebagian kecil orang yang menyalahgunakan tradisi tersebut.

Pada artikel kali ini saya akan berbagi informasi tentang tradisi adat kematian di Nagari Taluk.

Kematian pangulu suku

Suku di Nagari Taluk ada empat, yaitu patopang, chaniago, mandailiang, dan piliang. Tiap-tiap suku dipimpin oleh orang 4 Jiniah (urang nan 4 jiniah) yaitu; pangulu, manti, malin, dan dubalang.

Jika salah seorang dari urang nan 4 jiniah meninggal dunia, maka akan diadakan upacara adat kematian di Nagari Taluk.

Begitu pula jika salah seorang pangulu suku meninggal dunia, maka akan diberitahukan kepada pangulu yang 3 suku lainnya. 

Begitu juga dengan manti, akan diberitahukan kepada manti yang 3 suku lainnya. Malin dan dubalang pun juga begitu.

Jika pangulu suku lain telah diberitahu, maka ia akan memberitahukan kepada orang nan 4 jiniah lainnya, termasuk tuo kampuang dalam sukunya.

Setelah semuanya diberitahu, kemudian urang nan 4 jiniah ditambah tuo kampuang dari 3 suku lainnya akan datang ke rumah gadang pangulu yang meninggal tersebut untuk melayat dan merundingkan tentang :

1.Sako (gelar) dan pusako (harta)

Mereka akan membicarakan tentang, siapa di antara kemenakannya yang pantas untuk menggantikan gelarnya (sako).

Hal ini sesuai dengan pepatah minangkabau:
Biriak-biriak tabang ka sasak
Dari sasak ka hilaman
Dari niniak turun ka mamak
Dari mamak ka kamanakan.

2.Proses penyelenggaraan upacara kematian

Mereka akan membahas tentang dimana pandam pakuburan (tempat pemakamannya), dan proses mulai dari menggali kuburan sampai jenazah selesai dimakamkan merupakan tanggung jawab dubalang.

Sedangkan untuk biayanya adalah 1 ekor kambing (diganti dengan uang, tergantung berapa harga kambing saat itu).

Itulah yang dirundingkan di rumah gadang, kemudian dengan segera dubalang akan memerintahkan sumando untuk membuat keranda (garai), bentuknya seperti balok tanpa atap, terbuat dari bambu, dengan tiap-tiap sudut, bambunya dipanjangkan untuk mengangkatnya nanti.

Setelah garai selesai dibuat, kemudian garai tersebut diletakkan di depan/halaman rumah gadang.

Setelah itu, garai akan dihiasi oleh bundo kanduang dari 4 suku. Masing-masing sudut akan dihiasi oleh bundo kanduang 1 suku. 

Di tiap-tiap sudut akan dipasang tabir (tabigh), pakaian adat, kain sarung, kemudian payung yang diatasnya diberi kain berwarna merah (domok).

Masing-masing sandangan keranda (garai) dibalut dengan kain kafan. Setelah selesai dihiasi, jenazah yang telah dimandikan dan dikafani dimasukkan ke dalam keranda tadi, dan diikuti pula oleh kemenakan yang akan menggantikan gelarnya untuk berdiri dalam keranda itu juga.

Jenazah tersebut diikat agar tidak jatuh. Masing-masing sandangan akan diangkat oleh 1 suku, maka di tiap-tiap sandangan dipegang oleh 1 suku. 

Kemudian, secara serentak masing-masing suku mengangkat keranda (garai) sampai kerandanya agak sedikit melambung di udara.
Setelah terangkat, maka garai tersebut dilarikan sampai ke pandam pakuburannya. Dalam perjalanan, masing-masing suku berusaha untuk mengangkat garai setinggi-tingginya. 

Sesampainya dipandam pakuburan, jenazah disholatkan kemudian disemayamkan seperti biasanya. (Sumber : Usfaizi Dt. Rajo Mudo) (*Penulis : Difo Faizi Pratama)***