Dibalik Pemilu Ketiga

Pak Sulaiman dan istrinya bu Sulaiman telah bersiap-siap untuk bepergian. Pergi untuk menyalurkan hak suaranya sebagai warga negara Indonesia yang baik. Mereka harus mencoblos di tempat pemungutan suara dimana mereka telah terdaftar pada tahun sebelumnya.

Ilustrasi gambar (Matrapendidikan.id)

Hari itu Senin 2 Mei 1977 adalah Pemilu ketiga dalam sejarah Indonesia setelah tahun 1955 dan 1971. Pak Sulaiman dan bu Sulaiman sudah siap dengan rencana partai dan wakil rakyat yang akan dipilih untuk menduduki jabatan lembaga legislatif itu.

Nasib dan guratan tangan mengharuskan suami istri itu untuk mencoblos di desa yang kini mereka tinggalkan.

Pak Sulaiman dan istri serta 4 orang putra-putrinya telah eksodus ke desa lain usai pendaftaran pemilih. Muhardi, putra sulungnya yang masih kelas 2 sekolah dasar dan berumur 10 tahun itu juga terpaksa bolak-balik ke sekolahnya dengan berjalan kaki sejauh dua kilometer lebih.

Penghidupan di desanya sangat sulit apalagi mata pencaharian kedua suami istri itu hanya menjadi kuli tani untuk menghidupi 4 orang anaknya.

Di desa yang baru mereka tinggal di dangau tengah sawah yang beratap daun kelapa dan berdinding bambu. 
Kedua suami istri itu mengolah sawah majikan dan hasil panen dibagi dua.

Dari tadi istri pak Sulaiman terlihat bermenung. Nampaknya ia berat hati untuk meninggalkan putra-putrinya.

"Ayo, buk kita berangkat. Kalau cepat datang ke TPS maka cepat pula kita kembali pulang." ujar pak Sulaiman.

"Iya, pak..." sahut bu Sulaiman mengikuti suaminya yang membawa sepeda. Untuk dapat menaiki sepeda mereka harus menggiring sepeda melewati pematang sawah sampai ke jalan raya.

Anak-anak sudah makan pagi. Akan tetapi bu Sulaiman merasa was-was. Beras untuk makan siang dan malam sudah habis. Padi yang hendak dijadikan beras pun belum kering. Maklum musim penghujan. Itulah yang menjadi beban pikiran bu Sulaiman sejak tadi.

"Uda..., ayah dan ibu kemana? Sudah tengah hari belum juga pulang?" tanya Zumardi, putra kedua pak Sulaiman berusia 9 tahun itu heran.

"Beliau ikut Pemilu di desa kita dulu, dek..." jawab Muhardi.

"Pemilu itu apa, Uda?" tanya Zumardi ingin tahu.

"Pemilu itu Pemilihan Umum, memilih dan mencoblos gambar orang-orang yang akan duduk menjadi wakil rakyat di DPR dan DPRD," sahut Muhardi tenang.

Afdal dan Yaumi, dua adik Muhardi lainnya datang. Tadi mereka bermain air di aliran bandar sawah.

"Uda, aku lapar...." cetus Afdal.

"Aku juga," sambung Yaumi.

Muhardi melirik Zumardi. Mereka sudah paham. Beras untuk dimasak untuk jadi nasi sudah habis.

"Sebentar ya dek, kami mau menumbuk padi dulu buat dijadikan beras..." ujar Muhardi.

"Iya, dek. Kalian main atau tiduran saja dulu sampai kami pulang bawa beras," timpal Zumardi.

"Iya, uda balas keduanya mengangguk...."

Kedua putra pak Sulaiman memilih inisiatif mengambil padi yang tersimpan di pojok dangau tempat tinggal mereka. 

Sepertinya tak terpikirkan oleh mereka apakah padi itu bisa dijadikan beras atau tidak. Namun keduanya sudah berjalan membawa satu ember padi untuk ditumbuk dengan lesung di dekat rumah penduduk di pinggir jalan.

Pengalaman hidup orangtua yang tidak mudah telah mewarnai kehidupan keluarga itu. Meskipun masih berusia 10 tahun dan 9 tahun akhirnya berhasil membawa beras pulang untuk di masak.

Afdal dan Yaumi memang terlihat tertidur karena lapar. Tak lama nasi pun masak.

Masalah baru muncul. Teman makan nasi tidak ada. Kembali Muhardi melirik Zumardi. Kebingungan.

Namun sang adik segera mencari-cari sesuatu.
"Oh, ini ada cabe merah, uda..." seru Zumardi.

Muhardi nampak gembira. "Kita buat sambal cabe merah. Kamu bisa buat sambal cabe?"

Zumardi menggeleng.

"Kalau begitu, biar uda yang membuatnya. Uda sering melihat ibu membuat sambal cabe untuk makanan kita," balas Muhardi.

Berapa lah kekuatan tangan kecil seorang Muhardi yang berusia setahun lebih tua dari adiknya Zumardi. Gilingan cabe nya masih kasar.

Tapi sambal cabe merah itu akhirnya bisa dihidangkan buat adiknya Afdal dan Yaumi.

"Afdal.... Yaumi...!!!" Muhardi memanggil dua adiknya yang masih tertidur.

Kala itu mentari telah condong ke barat. Sesaat lagi mentari akan tenggelam. Muhardi dan semua adiknya sudah siap mandi dan duduk-duduk santai sambil ngobrol dalam dangau berlantai bambu itu.

Tak lama Pak Sulaiman dan Bu Sulaiman datang. Mereka nampak gelisah dan cemas.

Bu Sulaiman langsung menangis di dapur dangau. Ia melihat di bawah tudung nasi sudah ada nasi dan sambal cabe merah giling.

Bu Sulaiman menangis bukan karena sedih melainkan terharu dengan nasib 4 anak yang ditinggalkan hampir sehari demi Pemilu yang ketiga.

"Maafkan ayah dan ibu ya anak-anakku. Kami mencemaskan kalian akan mati kelaparan. Alhamdulillah ibu tadi melihat nasi dan sambal cabe." tutur bu Sulaiman terbata-bata.

"Dimana kamu dapat beras?" tanya pak Sulaiman kemudian.

"Tadi, padi dalam karung kami tumbuk di lesung rumah orang di tepi jalan raya, Yah..." sahut Muhardi.

Pak Sulaiman memandangi satu persatu anaknya. Mulai dari Muhardi, Zumardi kemudian Afdal dan Yaumi.

Lalu pak Sulaiman berkata.

"Ternyata kalian anak-anak yang pintar. Pandai mengatasi masalah sendiri. Itu anak yang pintar, bukankah begitu, bu?"

Bu Sulaiman mengangguk. Ada sejumput kebahagiaan terlukis di wajah bu Sulaiman di balik Pemilu Ketiga.  ***