Reuni Cinta Masa Lalu

Elita...!

Arman...?

Dua insan paruh baya itu saling pandang. Sama-sama kaget. Tidak menyangka akan bertemu di tempat itu setelah 30 tahun berlalu.

Ilustrasi gambar (poxabay.com)

Elita membimbing bocah kecil perempuan. Arman sudah menduga itu cucunya. Sementara Elita melihat Arman sendirian di Pantai Padang itu.

"Ma, aku mau pulang duluan. Mas Surya menyuruh aku cepat kembali pulang...." Tiba-tiba seorang ibu muda datang menghampiri Elita.

Dan, Arman pun mengira mama muda itu putrinya Elita. Raut wajahnya mirip Elita. 

"Ayo Mena, kita pulang duluan, biarkan nenek tinggal disini...." Mama muda itu mengajak sang bocah. Namun tiba-tiba putri Elita terdiam sejenak mana kala melihat seorang pria berdiri mematung di hadapan mamanya.

"Oh, ya. Ini Jesika putri sulungku, Arman..." Elita memperkenalkan putrinya. 

Arman mengangguk ramah pada Jesika. Mama muda itu balas mengangguk ramah.

"Om, Arman ini teman kuliah mama dulu...," timpal Elita.

"Oh ya? Apa kabar, om?"

"Alhamdulillah kabar baik," sahut Arman.

"Hm, begini om, aku pamit mau pulang dulu...." 

"Tapi om pinjam mamamu dulu, ya?" balas Arman tersenyum.

"Oh, kalau itu silahkan, titip mamaku ya, om...?" sahut Elita berlalu seraya menggendong bocah kecil Mena.

Arman dan Elita saling memandang kepergian Jesika.

"Putriku satu-satunya, Arman. Oh ya, apa kamu juga sudah punya cucu....?"

Arman menyengir. "Belum...." sahutnya kemudian.

"Istrimu mana? Kok tidak mengajak istri maupun anak-anakmu?"

"Panjang ceritanya, Lita...."

"Oh, kalau begitu yuk kita cari tempat bercerita, tempat kita dulu berpisah...."

"Nanti suamimu salah paham..."

"Tidak bakal ada yang salah paham, Arman..."

"Maksudmu?"

"Panjang juga ceritanya..." balas Elita cepat.

Cuaca sore di pantai Padang terasa dingin. Ombak laut mulai membesar. Bergulung, saling berkejar memburu garis pantai berbatu.

Belum ada yang berani memulai bercerita. Mereka pura-pura memandang ke laut menyaksikan mentari yang hampir tenggelam di ufuk barat.

Tiga puluh tahun silam. Mereka ke tempat ini untuk yang terakhir kali. Waktu yang sangat menyakitkan bagi mereka berdua. 

"Aku ikhlas melepaskan dirimu, Lita. Turuti keinginan orangtuamu...." ujar Arman dengan suara meyakinkan. 

"Tapi bagaimana dengan dirimu, apakah akan baik-baik saja...?" tanya Elita penuh keraguan

Arman mengangguk. "Insyaallah, aku baik-baik saja..." jawab Arman yakin.

"Kenapa kamu tidak terus berjuang untuk meyakinkan orangtuaku, mempertahankan hubungan kita, Arman...?

Arman menggeleng. "Sia-sia, Lita. Jika dibanding dengan calon suami pilihan orangtuamu, aku sudah pasti kalah..."

Elita terdiam.

"Kalau aku paksakan juga, itu pasti bisa. Kita kawin lari. Tetapi aku tidak yakin, kamu akan bahagia bersamaku dengan cara itu..." timpal Arman.

"Kamu benar juga, Arman... mungkin kita tidak berjodoh..." Elita mulai terisak dan tertunduk.

"Percayalah, Lita. Restu kedua orangtua adalah langkah awal yang pasti untuk membina rumah tangga bahagia..." ujar Arman memberi dorongan buat Elita.

"Maafkan aku Arman..."

Arman hanya mengangguk. "Selamat berpisah..." sahut Arman berbalik arah dan meninggalkan Elita....

"Heiiii...kok melamun?" tegur Arman.

"Kamu juga melamun, bukan?"

"Iya, ya....?" Arman tertawa.

Elita pun ikut tertawa.

"Ngomong-ngomong istrimu bagaimana kabarnya, dia orang mana...?" tanya Elita menyelidik.

Arman tersedak. Lalu menarik nafas dalam.

"Sudah meninggal. Aku dikaruniai 2 orang anak. Ia orang kampungku sendiri, Lita...." tutur Arman kemudian.

Elita terdiam.

"Suamimu bagaimana kabarnya?"

"Sudah meninggal juga, kebetulan aku dikaruniai satu orang putri, Jesika..."

"Oh, beruntunglah dirimu..."

"Maksudmu...?"

"Aku belum punya mantu..." jawab Arman mulai melemah.

"Mungkin belum ketemu jodoh mereka...."

Arman mengangguk. "Tidak berniat untuk mengganti papanya Jesika...?"

Elita terdiam. Lalu melirik ke wajah Arman. "Kamu sendiri, sudah ada calon pengganti mamanya anak-anakmu?"

"Belum ada yang mau ...."

"Kamu yang tidak mau atau...?" potong Elita.

"Belum ada yang mau."

Elita tersadar kalau cuaca sudah mulai remang. Sang surya telah tenggelam di ufuk barat.

"Sebaiknya kita pulang, Arman."

"Iya, sudah hampir magrib..."

Kedua insan paruh baya itu berdiri. Lalu saling mengeluarkan ponsel untuk bertukar nomor.***