Mudahnya Kau Ingkar Janji

Mudahnya kau ingkar janji - Gerimis yang turun sejak pagi membuat cuaca terminal Baranangsiang semakin menusuk kulit. Sebuah bus jumbo bergerak lambat meninggalkan loket menuju pintu keluar terminal.

Ilustrasi gambar (pixabay.com)

Seorang ibu muda mengenakan gamis terlihat berdiri mematung di emperan loket bus. Matanya tak berkedip mengikuti sebuah bus yang bergerak menuju pintu keluar terminal.

Tiba-tiba ia menghela napas berat. Keresahan mendera hatinya tatkala bus yang diperhatikannya sejak tadi sudah hilang dari pandangannya.

“Uda..., entah kapan lagi kita dapat bertemu...” katanya membatin, lirih.

Hatinya terasa hampa. Perempuan janda beranak dua itu merasakan ada sesuatu yang hilang dari dirinya. Hilang dibawa oleh seseorang yang kini berada di atas bus yang membawanya menuju pulau seberang.

Armi, wanita yang berdiri di emperan loket bus jurusan Bogor-Padang itu mengembangkan payung warna biru langit. Kemudian melangkah gontai meninggalkan loket bus menuju ke luar terminal.

Sementara itu terlihat seorang pria bersandar penuh di sandaran seat persis di belakang pengemudi bus. Hendri, pria yang terlihat seolah-olah sedang santai bersandar pada sandaran seat bus, ternyata sedang dilanda galau!

“Kuharap kamu akan baik-baik saja dan tidak akan terjadi apa yang kita khawatirkan,” Hendri berkata dalam hati.

Sudah seminggu ia berada di kota hujan itu. Selama itu ia menginap di rumah Armi dan ditemani Mardi, saudara kandungnya.

Ketika pertama datang di rumah Armi, ia harus melapor pada ketua RT. Kepada pak RT Armi dan saudaranya mengaku kalau Hendri adalah saudara mereka dari kampung.

Mendadak jantung Hendri bergetar hebat manakala teringat peristiwa malam itu. Hubungannya sudah terlanjur terlampau jauh!

Entah kenapa pikiran buruk kembali bersarang di benaknya. Apa yang telah diperbuatnya terhadap Armi akan berisiko terhadap dirinya di kemudian hari.

“Uda, apa pun yang telah terjadi... dan yang akan terjadi setelah ini. Janganlah Uda melupakan aku, apalagi mengingkari janji yang sudah Uda ucapkan...” 

Begitu ucap Irma lirih ketika Hendri hendak menaiki bus di terminal Baranangsiang.

“Iya, Uda berjanji tidak akan melupakanmu dan akan mempertanggungjawabkanku....” balas Hendri seraya memegang kedua bahu wanita itu.

“Benar ya Uda...?”

Hendri mengangguk.

“Tapi kamu usahakan agar jangan terjadi apa yang kita takutkan akibat perbuatan kita,” sambung Hendri penuh harap.

Hari demi hari berlalu dan berganti menjadi minggu. Di minggu-minggu awal komunikasi jarak jauh mereka berjalan lancar melalui media sosial Facebook.

Kadangkala ponsel poliphonic menjadi penghubung untuk saling mencurahkan kerinduan.

Namun siapa nyana pada bulan berikutnya Hendri sudah mulai jarang menelepon atau membuka Facebook. Panggilan telepon tidak pernah dijawab. Pesan singkat juga tak dibalas.

Ternyata Hendri menyimpan ponselnya dan menggantinya dengan ponsel dan nomor baru.

Sesekali Hendri membuka ponsel lama dan membaca banyak panggilan tak terjawab. Puluhan pesan singkat sudah antri untuk dibuka.

“Uda kejam, tak punya perasaan...!!!. Mudahnya Uda ingkar janji, hukum karma pasti akan berlaku, Uda!!!”

Begitu salah satu pesan pedas yang sempat dibuka Hendri. Namun ia terpaksa cuek terhadap pesan singkat umpatan Armi...***