Mutu Lulusan Vs Kejujuran : Mana yang Lebih Penting dalam Ujian Kompetensi?

Mutu lulusan vs kejujuran: Mana yang lebih penting dalam ujian kompetensi? - Banyak orang yang menyamakan ujian kompetensi dengan sertifikasi. Faktanya, hanya beberapa orang yang dapat memasukkan sertifikat ujian kompetensi sebagai bukti kemampuan pada bidang yang ditekuni dan diujikan.

Sebagai hasilnya, orang-orang ini lebih berpotensi diterima dalam tempat kerja idaman mereka, karena mereka dapat menunjukkan lebih banyak hal dalam CV mereka. Ini semua karena beberapa orang ini memperoleh nilai tinggi dalam ujian kompetensi, sehingga dianggap “memperoleh sertifikasi”.

Di saat yang bersamaan, kita paham ada jarak yang timpang antara memperoleh nilai setinggi-tingginya dengan kejujuran. Hal tersebut berlaku meski sekarang sudah ada berbagai perangkat untuk mendeteksi dan mencegah kecurangan dalam ujian kompetensi.

Tulisan ini bermaksud memberikan argumen mana yang lebih penting di antara mutu lulusan dan kejujuran jika menyangkut ujian kompetensi. Pertama-tama, kita akan menjelajahi argumen mengenai mutu lulusan yang lebih penting dibandingkan kejujuran.

Mutu Lulusan Harus Diprioritaskan

Meski ada banyak definisi mengenai mutu, di sini kita akan berfokus dengan nilai ujian sebagai tolok ukur yang dapat ditampilkan dalam CV seseorang. 

Ketika seseorang secara konsisten memperoleh nilai ujian yang tinggi, hal tersebut akan terlihat meyakinkan di mata calon pemberi kerja, bahwa yang bersangkutan memang akan menghasilkan pekerjaan yang sebaik mungkin.

Dari sisi orang yang menampilkan kualitas demikian dalam CV-nya, hal tersebut bukan hanya sekedar janji kepada pemilik tempat kerja idaman. Berikut ini adalah mengapa kami berpikir mutu lulusan harus diprioritaskan:

Hanya ada sedikit orang yang “benar-benar bisa”

Pernahkah Anda berpikir, bagaimana bisa seseorang dapat memperoleh nilai ujian yang tinggi secara terus-menerus?

Orang tersebut pastinya sudah belajar selama beberapa lama. Bagi orang yang sedang mengikuti ujian kompetensi, mengenali pola dalam bank soal, membaca setiap bab materi, bertanya pada teman dan instruktur terkait hal yang kurang jelas, dan lain-lain, merupakan berbagai upaya yang dikerahkan untuk memperoleh nilai tinggi.

Tidak jarang, orang-orang yang memperoleh nilai tinggi secara konsisten ini juga termasuk orang-orang yang benar-benar bisa mengerjakan pekerjaan yang akan ditugaskan.

Jadi, nilai tinggi dapat saja menjadi bukti bahwa orang-orang tersebut termasuk dalam segelintir orang yang “benar-benar bisa”.

Kalau pun orang-orang ini termasuk dalam pengecualian pada “kelompok langka yang benar-benar bisa”, orang-orang ini pastilah orang-orang yang tahu melihat dan memanfaatkan hal-hal yang terlihat sebagai kesempatan di depan matanya.

Jarang sekali orang yang tekun dan gigih untuk mencari cara yang diperlukan untuk memperoleh nilai sebaik-baiknya, bukan?

Karena itu, orang-orang ini termasuk dalam kumpulan orang yang bukan hanya memperoleh nilai tinggi yang langka tersebut. Namun, mereka juga layak diberikan kesempatan untuk bekerja dan berkarya.

Memotivasi orang untuk berkarya

Coba Anda pikirkan, hanya orang-orang yang mencantumkan bukti ujian kompetensi, sertifikasi, atau apa pun yang sejenis, yang diprioritaskan untuk dipanggil saat hendak menghadiri sesi wawancara, tes kemampuan dengan user, dan sebagainya.

Sementara, orang-orang yang tidak menunjukkan hal-hal tersebut, seringkali memerlukan lebih dari sekedar keberuntungan untuk dipanggil dalam setiap tahapan wawancara. Banyak di antara orang ini yang seharusnya berbakat dan dapat mengerjakan tugasnya dengan baik, namun berakhir tidak pernah dipanggil.

Karenanya, mutu lulusan ujian kompetensi yang dinyatakan dalam bentuk nilai ujian memotivasi orang untuk berkarya ketika orang tersebut sudah diterima dalam perusahaan. 

Saat pertama kali menyetujui kontrak dan mulai bekerja, orang tersebut akan teringat nilai-nilai tinggi yang diperoleh saat ujian kompetensi. Hal semacam ini menimbulkan dorongan dan semangat bagi orang tersebut untuk membuktikan bahwa nilai-nilai tinggi yang didapatkan tidak hanya sekedar angka.

Bayangkan jika orang tersebut tidak pernah menunjukkan bukti bahwa yang bersangkutan pernah mengikuti ujian kompetensi (dan karenanya tidak pernah dipanggil tempat kerja idaman). Orang tersebut akan kehilangan banyak kesempatan untuk membuktikan diri dan memotivasi diri untuk terus memberikan yang terbaik.

Bukti kekuatan dan posisi seseorang

“Sultan mah bebas!” - Ini merupakan satu lagi perkataan yang tidak dapat disanggah kebenarannya. Saat ini, orang-orang yang membantu orang memperoleh mutu kelulusan atau nilai tinggi dalam ujian kompetensi tidak jarang meminta imbalan yang tinggi.

Orang yang dapat memperoleh nilai tinggi dalam ujian kompetensi dan harus melalui serangkaian upaya belajar yang berat merupakan kelompok langka, dan tidak semua orang melalui cara seperti ini. Orang-orang yang memiliki uang dan kekuasaan, di satu sisi, dapat memutarbalikkan keadaan sedemikian rupa sehingga menguntungkan mereka.

Mereka dapat membayar orang-orang tertentu untuk melakukan pekerjaan mereka dengan selicin mungkin, sehingga teknologi terkini tidak dapat mengenali apa yang mereka perbuat di balik layar. 

Kemudian, mereka dapat menyuap orang-orang penting yang berkaitan dengan ujian kompetensi dan mengerahkan bala bantuan mereka, sehingga dapat meluluskan mereka secara sempurna. Saat hendak melamar pekerjaan pun, mereka dapat menggunakan pengaruh ini untuk memuluskan jalan mereka menuju panggilan interview hingga diterima kerja.

Kejujuran Lebih Penting Daripada Mutu Lulusan

Saat kita melihat tiga argumen yang terpapar di atas mengenai mutu lulusan yang lebih penting, kita akan mengetahui tiga pokok utama yang disampaikan berfokus pada pembuktian diri.

Pertama-tama, pembuktian diri adalah pada kategorisasi “kelompok langka” yang “benar-benar bisa”. Kedua, pembuktian diri untuk memotivasi agar semangat bekerja. Ketiga, pembuktian kekuasaan yang dinyatakan dalam uang dan posisi.

Kendati demikian, ada juga orang yang berpikir bahwa kita harus mengutamakan kejujuran di atas segalanya. Berikut ini adalah alasan atau argumen yang kami percayai mendukung pernyataan mereka:

“Segalanya akan terlihat pada akhirnya”

Ungkapan yang menyatakan bahwa nilai hanya sekedar angka bukan hanya isapan jempol atau gertak sambal. Ini adalah ungkapan yang telah banyak terbukti hingga saat ini.

Kita tidak akan pernah tahu apakah orang memperoleh nilai bagus secara konsisten adalah murni dari hasil usahanya atau karena membayar orang lain untuk mengerjakan ujian kompetensi. Saat ini, para joki ujian telah memiliki berbagai macam cara untuk dapat lolos mengerjakan ujian hingga akhir dan “membantu” banyak orang memperoleh nilai bagus.

Hampir semua joki ujian kompetensi tidak akan memberitahu Anda bagaimana Anda dapat sampai kepada jawaban tertentu untuk persoalan tertentu. Terkadang, joki tidak hanya berupa manusia. 

Hal tersebut dapat juga berupa kunci jawaban yang banyak beredar secara bebas di internet. Saat ini, banyak cara untuk mendapatkan berbagai macam materi rahasia ini secara tersembunyi, baik secara 100% gratis maupun membayar dengan harga yang sangat murah.

Jadi, kami hendak menegaskan bahwa segalanya akan terlihat pada akhirnya, termasuk orang-orang yang memperoleh nilai baik dengan cara yang tidak jujur. 

Tidak menutup kemungkinan orang-orang yang tidak jujur ini tidak dapat menjawab secara lancar untuk jenis pertanyaan tertentu. Hal tersebut dapat memicu keraguan dan menimbulkan kecurigaan antara tim HR dan user untuk menggali lebih jauh bagaimana orang-orang ini memperoleh hasil baik dengan cara yang tidak seharusnya.

Ketidakjujuran mendatangkan konsekuensi yang tidak diinginkan

Semua ujian kompetensi memiliki aturan yang harus para peserta ujian patuhi. Jika para peserta tidak dapat memperoleh nilai bagus saat ini, setidaknya mereka tidak menerima konsekuensi yang tidak diinginkan terkait ujian kompetensi untuk ke depannya.

Banyak dari konsekuensi yang tidak diinginkan berkaitan erat dengan ketidakjujuran. Paling tidak, sejak sekitar 5-10 tahun silam, ketahuan mencontek saat ujian kompetensi dapat berakibat fatal bagi para peserta ujian.

Tidak hanya panitia dan penyelenggara ujian dapat menjadi saksi masalah yang memberatkan ketika diminta pertanggungjawaban oleh orang-orang yang memiliki kekuatan hukum. Orang yang ketahuan berbuat tidak jujur (seperti mencontek dan yang lainnya), mungkin saja tidak akan dapat mengikuti ujian kompetensi yang bersangkutan hingga selama-lamanya.

Hal tersebut juga berlaku jika ujian kompetensi tersebut membutuhkan NIK dalam KTP atau data diri lain yang serupa, sekaligus memberlakukan tindakan pengamanan yang sesuai, seperti tidak mengizinkan orang yang wajahnya di KTP tidak sama dengan wajah yang terlihat.

Ketika orang tersebut kehilangan kemampuan untuk mengikuti ujian kompetensi, orang tersebut berpotensi semakin bingung tentang apa yang harus dicantumkan dalam CV dan dikemukakan saat menjawab pertanyaan wawancara. Akhirnya, orang tersebut bukan tidak mungkin menjadi gagal terpanggil.

Masih ada “orang-orang baik”

Orang baik bukan hanya terbatas pada orang-orang yang lemah, polos, dapat dimanfaatkan sesuka hati, dan tampak tidak memiliki keinginan atau cita-cita. Sebaliknya, kebaikan dapat menjadi kekuatan jika digunakan pada tempat yang tepat.

Keberadaan orang-orang baik juga tidak terbatas pada peserta atau alumni ujian kompetensi yang telah menunjukkan kualitasnya dengan cara yang jujur. Orang-orang baik yang menjunjung tinggi kejujuran dan tidak menerima suap juga dapat kita temui pada panitia, pengawas, maupun orang-orang lain yang ditugaskan dalam ujian kompetensi.

Tidak jarang, “orang-orang baik” ini juga merupakan orang-orang yang mencetuskan ide untuk memutakhirkan berbagai macam teknologi untuk mendeteksi dan menangkap orang-orang yang mencoba berbuat tidak jujur. Paling sederhana, mereka berperan besar dalam memecat rekan mereka yang mendukung ketidakjujuran.

Mereka juga memiliki uang dan kekuasaan atau posisi. Namun, mereka menggunakan uang dan kekuasaan mereka untuk menjunjung tinggi kejujuran dan berbuat kebaikan.

Peranan teman dalam menengahi pertikaian mutu lulusan dan kejujuran dalam ujian kompetensi

Di sini, kami mengartikan kata “teman” sama dengan “teman seperjuangan” yang hendak mengikuti ujian kompetensi atau telah menjadi peserta ujian kompetensi sebelumnya, tetapi saat ini, mereka mengulangi ujian kompetensi atau sertifikasi serupa untuk berbagai macam alasan.

Karena namanya “teman”, maka sifat dari teman yang akan kita bahas dalam bagian ini adalah membantu kita mencapai kesuksesan, entah itu dalam hal mutu maupun kejujuran. 

Masing-masing jenis “teman” ini memiliki peranan dalam membantu atau mendukung para peserta ujian kompetensi, tergantung dari kubu mutu lulusan atau kejujuran mana yang melihatnya. Yang jelas, kata “teman” pada bagian ini berfungsi sebagai penengah argumen antara mutu kelulusan dan kejujuran.

Kubu mutu kelulusan cenderung melihat teman sebagai “sarana”, yang berarti teman dapat menjadi sumber yang dapat diandalkan ketika hendak mencari cara memperoleh nilai tinggi. Biasanya, orang-orang ini menuruti cara dan ide yang telah disepakati agar dapat memperoleh nilai ujian kompetensi yang tinggi.

Terkadang, seorang teman yang baik pada kubu mutu kelulusan dapat ikut berjuang memperoleh nilai tinggi dan berkontribusi dalam ide maupun cara-cara untuk memperolehnya. Tidak jarang, para teman seperjuangan dari kubu mutu kelulusan dapat memiliki nasib yang sama saat melamar di tempat kerja yang sama.

Di sisi lain, teman dari kubu kejujuran merupakan teman yang dapat kita sebut sebagai “Si Paling Jangan”. Ini karena teman-teman ini identik dengan melarang-larang hal yang terlihat baik, seperti memperoleh nilai setinggi mungkin dengan cara yang tidak jujur.

Kendati demikian, tidak semua teman dari kubu kejujuran adalah “Si Paling Jangan”. Ada kalanya kita menemukan teman dari kubu kejujuran yang bersedia mendengarkan persetujuan dari seseorang terlebih dahulu, namun memiliki prinsip hidup yang teguh dan senantiasa berbuat baik.

Untuk orang-orang seperti ini, mereka tidak akan menjadi “Si Paling Jangan” yang tugasnya hanya membatasi kita melakukan hal-hal untuk memperoleh nilai setinggi mungkin tanpa memperhatikan apa yang kita rasakan dan memproses perasaan kita. Alih-alih, mereka akan mendukung kita untuk terus berbuat jujur, termasuk saat mengikuti ujian kompetensi.

Teman dari kubu mutu lulusan mungkin terdengar menggiurkan karena mereka rela melakukan apa saja untuk mempermudah kita memperoleh nilai setinggi-tingginya. Namun, orang-orang ini pastinya akan meminta imbalan yang mungkin kita tidak dapat memenuhinya, setidaknya segera.

Dari semua paparan soal teman atau teman seperjuangan ujian kompetensi ini, ternyata mereka tidak dapat menengahi mutu lulusan dengan kejujuran. Bagaimana pun juga, kita mengetahui diri kita sedang berkawan dengan orang-orang yang berkualitas tinggi lewat cara mereka menanamkan nilai-nilai kebaikan, seperti kejujuran.

Dan pemenangnya adalah… (+Beberapa kata terakhir sebagai solusi)

Kejujuran!

Nilai ujian kompetensi saja tidak cukup untuk menyatakan seseorang pasti memiliki hasil nyata ketika terjun di dunia pekerjaan. Apalagi, natur ujian kompetensi dan pekerjaan saling bertolak belakang. Ujian kompetensi bersifat teoritis, sementara pekerjaan bersifat praktis.

Kalau pun nilai ujian kompetensi merupakan salah satu langkah awal untuk membuktikan bahwa alumni ujian tersebut memiliki yang diperlukan untuk mengeksekusi pekerjaan dengan tepat, maka hal tersebut adalah ranah perancang materi, tanya-jawab dan sebagainya, dalam ujian kompetensi.

Jika materi dan soal tanya-jawab berseberangan dengan keadaan yang terjadi di dunia kerja dan budaya kerja yang banyak dianut, hal tersebut tetap menjadi tanggungjawab yang merancang materi untuk menyesuaikannya dengan departemen pekerjaan yang sesuai dengan mata ujian kompetensi yang diujikan.

Dengan demikian, beban kejujuran tidak hanya dipikul oleh peserta ujian kompetensi, yang pastinya harus menerima konsekuensi jika tertangkap berbuat tidak jujur. Orang-orang baik dalam posisinya, seperti panitia dan pengawas ujian, perancang soal tanya-jawab, tim internal perusahaan, dapat menggunakan posisinya untuk menjunjung kejujuran.

Kejujuran, apalagi yang bermula dari orang-orang yang berkuasa, akan menghindarkan peserta ujian kompetensi dari menghadapi konsekuensi yang tidak diinginkan akibat dari ketidakjujuran mereka. Selain itu, para peserta ujian kompetensi akan paham, tidak ada alasan bagi mereka untuk berbuat tidak jujur demi mendapatkan hasil yang diinginkan.

Lagipula, segala sesuatu akan terlihat pada akhirnya. Orang-orang yang memperoleh nilai tinggi bukan dengan hasil usaha mereka sendiri dan dengan cara yang tidak jujur akan mendapatkan balasannya. Akan ada saatnya, orang-orang ini tidak dapat memamerkan nilai tinggi dan sertifikasinya dalam CV-nya.

Bagaimana pun target nilai ujian kompetensi Anda, selalu upayakan mengerjakan dengan kejujuran. Kalau pun akhirnya Anda tidak dapat “membuktikan mutu” dengan nilai ujian yang tinggi, setidaknya Anda mengerjakan seluruh prosesnya dengan jujur.***


*Biodata Penulis :

Nama: Mhd Riza Marjoni

Jenis kelamin: Laki Laki

TTL : Bukittinggi, 6 Maret 1977

Alamat : Jl. Kusuma Bhakti No. 09 Gulai Bancah Bukittinggi

Pekerjaan: Dosen Akademi Farmasi Dwi Farma Bukittinggi

Telp: 081266093256 / 081212347981

Email: mhdriza.marjoni@gmail.com