Di Telaga Impian

Seorang lelaki paruh baya duduk sendirian di pinggiran sebuah telaga. Matanya tak henti-henti memandang ke tengah telaga. Namun pandangannya nanar dan kosong.

Sesekali tangannya meraih kerikil kecil. Kemudian melemparkannya ke tengah telaga.

Lemparan kerikil itu menimbulkan riak kecil dan sesaat kemudian hilang. Seperti hilangnya pengharapannya terhadap seseorang.

Hendri, lelaki paruh baya itu menghela nafas dalam. Hatinya terasa semakin hampa.

Sesuatu telah lenyap dari lubuk hatinya. Lenyap dibawa pergi oleh seseorang yang telah membetot sukmanya.

Masni telah pergi. Perempuan yang dikenalnya melalui Facebook itu telah kembali ke rantau.

Meninggalkan dirinya setelah berpesan melalui media sosial. Membawa hatinya tanpa kepastian entah kapan kembali.

Tanpa sengaja mata Hendri tertuju pada perahu yang tertambat di sisi dermaga. Perahu berwarna kuning itu menyita perhatiannya.

Perahu itu pernah ditumpanginya bersama Masni dan putri kecilnya, Naya. Mengitari telaga wisata itu beberapa hari lalu.

Hendri geleng-geleng kepala sembari tersenyum kecut.

Bayangan Masni menjelma kembali. Ia seakan melihat Masni berdua dengan Naya di atas perahu itu.

Masni memandang ke arah Hendri seraya tersenyum. Senyum itu teramat manis di mata Hendri meskipun perempuan itu sudah tidak muda lagi usianya.

Bayangan Masni lenyap. Yang tinggal hanya perahu kuning yang diam membisu tertambat di sisi dermaga.

Kini kembali hadir di ingatan Hendri saat dirinya berjumpa pertama kali dengan Masni. Pertemuan yang berawal dari pertemanan di Facebook....

***

Pengunjung wisata di telaga  itu sudah mulai berdatangan.

Ada yang berkunjung bersama anggota keluarga. Sekadar menghabiskan masa liburan Idul Fitri.

Ada juga yang berduaan dengan si doi. Memanfaatkan momen itu sebagai kesempatan untuk dapat berduaan.

Namun ada pula yang datang sendirian. Menjomblo karena menduda atau menjanda. Sekadar cari angin, syukur-syukur dapat jodoh yang sesuai.

Hendri memarkir motornya di area parkiran.

Tak sengaja matanya melihat seorang ibu berusia empat puluhan didampingi bocah kecil, duduk tak jauh dari tempat parkir.

Hendri menghampirinya. Ia yakin, perempuan itu adalah Masni. Tadi di Facebook, ia berjanji bertemu di telaga ini dengan Masni.

Baru kali ini Hendri melihat Masni secara langsung di dunia nyata.

Wajah perempuan dan putri kecilnya itu, tak jauh beda dengan foto yang terpampang di medsos.

“Hai..., sudah lama menunggu?” sapa Hendri.

Perempuan itu mendongakkan kepala. Lalu tersenyum, pertanda Masni juga bisa menebak siapa laki-laki yang menyapanya barusan.

Sementara bocah perempuan di sampingnya nampak masih melongo. 

“Tidak juga, Uda....” sahut Marnis ramah.

“Hallo, si cantik juga ikut rupanya. Siapa namanya anak manis?” Pria itu menyapa dengan ramah.

“Naya, pak...” sahutnya masih kebingungan 

“Bapak ini, teman mama yang pernah mama ceritakan pada Naya...” timpal Marnis.

“Ohhh...” Naya mengangguk-angguk. “Ayo kita naik perahu, mama....”

“Boleh bapak ini ikut?” tanya Hendri.

Naya mengangguk setuju.

Itulah pertama kali saatnya Hendri dan Masni bertemu di dunia nyata sejak berteman di Facebook....

***

“Uda....,” 

Sebuah suara lembut menyapa. Lamunan Hendri buyar. 

Suara itu mengharuskannya untuk menoleh ke arah pemilik suara.

Hendri mengusap matanya. Masih belum percaya melihat kenyataan ini. Masni dan Naya sudah berdiri tak jauh di sampingnya.

“Masni....?” Hendri bergumam.

“Iya, aku Masni...”

Hendri bangkit. Lalu melangkah ke arah Masni.

“Bukankah kamu sudah berangkat ke rantau?” 

“Kami tidak jadi berangkat, uda...”

“Lho, kenapa....?”

“Aku tak bisa meninggalkan kisah di telaga impian ini, Uda....” Masni terbata-bata.

“Lantas?”

“Aku memutuskan untuk menetap di kampung dan tidak akan kembali lagi merantau...”

“Kamu serius?”

Masni mengangguk.

“Iya, pak. Mama tidak mau lagi ke rantau dan kami akan tinggal di kampung bersama nenek,” timpal Naya.

"Benar begitu, Naya?" tanya Hendri berlutut seraya memegang kedua bahu putri kecil Masni.

Naya mengangguk.

Hendri berdiri, lalu memandang Masni penuh pengharapan.

Masni tersenyum.

Pengin rasanya Hendri memeluk wanita itu. Tapi ia sadar itu belum halal.***