Hanya Mimpi di Bulan Desember

Hujan begini tidak banyak yang dapat kulakukan di rumah. Bepergian ke luar rumah, tidak ada tujuan yang hendak dicapai. Kalau pun ada itu pun harus mengenakan mantel hujan. Alhasil kuputuskan untuk meraih android kembali. Mumpung paket data lagi full karena baru diisi untuk bulan ini.
“Teng!” Terdengar bunyi notifikasi pesan messenger facebook. Seorang perempuan melambaikan tangan. Aku pun membalas lambaian tangan itu. Hanya sekadar itu.
Ketika hendak menutup laman messenger kembali muncul notifikasi. Kali ini ada pesan dari sipengirim.
“Lagi ngapain sore begini, bang?”
Keraguan mulai merasuki hatiku. Siapa sebenarnya si pengirim pesan ini. Setelah kuperiksa beberapa menit lamanya di profil akun facebooknya. Ternyata seorang perempuan yang sudah berumur dan tinggal di Jakarta. Namanya Wirda Purnama
“Lagi chatt denganmu. Wirda sendiri ngapain?” balasku kemudian.
Oh, ternyata Wirda sudah offline. Button obrolan di sebelah kanan nama Wirda Purnama sudah berubah berwarna putih, pertanda pemilik akun sudah offline.
Duh, mungkin karena kelamaan membalas chatt-nya. Aku pun menutup kembali beranda messenger.
Aku segera meraih android kesayanganku ketika terdengar kembali bunyi notifikasi dan muncul foto profil chatt messenger. Tapi bukan Wirda Purnama. Namun kali ini aku tidak bereaksi dan menaruh ponsel android kembali.
Kini aku membuka whatsApp. Ada tanda pesan baru dan aku membukannya. Nama pengirimnya tidak ada melainkan nomor handphone. Karena penasaran segera kubuka notifikasi pesan.
“Bang, Ini WA aku, Wirda Purnama. Sudah lupakah abang padaku? Tidak ingatkah abang dengan kisah sepuluh tahun lalu, persis di bulan Desember musim hujan seperti ini?”
Aku tercekat membaca isi pesan WA itu.
Segera kutambahkan nomor yang terpajang ke dalam daftar kontak dan kuberi nama Wirda Purnama sehingga muncul foto profil pemilik akun…
“Oh Tuhan, kamu Wirda……” desisku tanpa sadar tatkala melihat foto profil itu seorang perempuan yang pernah kukenal dan dekat denganku sepuluh tahun yang silam.
Tiba-tiba anganku melayang jauh ke masa silam ketika bertemu terakhir dengan Wirda Purnama.
Terminal Bus Tanah Abang diguyur hujan deras. Berat rasanya kakiku melangkah kaki menaiki tangga bus yang akan membawaku pulang ke Sumatera. Wirda Purnama masih setia memegang payung untuk melindungiku dari hujan saat hendak menaiki bus.
“Jangan lupakan aku jika abang sudah sampai di kampung. Hujan yang mengguyur terminal ini akan menjadi saksi pertemuan kita terakhir untuk bertemu kembali bila sampai waktunya.” ujar Wirda Purnama dengan suara bergetar dan syahdu.
Aku hanya diam. Mulutku seakan terkunci untuk mengucapkan sesuatu kepada perempuan yang telah membuatku bahagia meskipun hanya sekejap.
“Aku maklum kenapa abang diam saja. Abang berada dalam dua pilihan yang membuat abang sukar untuk memilihnya. Namun aku berharap, jangan melupakan aku. Hanya itu saja,” sambung Wirda Purnama seraya menyusut air matanya yang bercampur cipratan air hujan….
“Teng!”
Notifikasi WhatsApp berdentang kembali. Menyadarkan aku dari lamunan. Sejenak aku menarik nafas. Berat terasa tarikan nafasku, seakan ada yang menghimpit rongga dadaku….
“Bang, anakmu sudah besar. Cantik dan imut. Wajahnya mirip dengan wajah abang. Apa abang tidak ingin melihat dan kangen padanya?” tulis Wirda Purnama.
Tak lama muncul foto Wirda Purnama mencium seorang bocah kecil perempuan.
“Aku beri nama Maria Suciati ketika ia lahir. Maaf, aku tak bisa meminta pendapat abang tentang nama anak itu karena abang tak bisa dihubungi dan abang pun tak pernah menghubungi aku lagi.
Jantungku berdegub kencang. Nafasku semakin berdebar kencang. Gadis kecil mungil itu sangat manis dan lucu. Perasaan bersalah mendera dan bersarang di hatiku…..
“Pa! Bangun pa…! Sudah azan subuh….!”
Suara istriku itu spontan membangunkan ku. Ternyata aku bermimpi. Aku segera bangkit dan bergegas ke kamar mandi untuk mengambil air wuduk. Aku berharap istiku tidak tahu tentang mimpi yang kualami.*** End.