Ajari Aku Cara Belajar

Ajari aku cara belajar – Sekolah berangsur lengang. Hanya beberapa guru dan siswa yang masih bertahan di lokasi sekolah. Orangtua murid telah pulang beberapa saat setelah menerima rapor anaknya dari wali kelas masing-masing. Kegiatan penerimaan rapor semester berakhir sudah.

Beberapa siswa yang belum meninggalkan lokasi sekolah tampak santai di bawah pohon mangga yang rimbun. Mungkin bercengkrama tentang rapor hasil belajar yang diperoleh semester ganjil ini.

“Pasti mereka bangga meraih prestasi belajar memuaskan”, gumamku dalam hati tatkala menyaksikan mereka dari jauh. Kenapa aku tidak seperti mereka? Tidak merasa gembira dengan hasil belajar yang kuperoleh? Jangankan juara, peringkat 10 besar pun tidak kudapatkan.

Aku tak pernah absen. Apalagi yang namanya bolos, tak pernah.  Semua tugas atau pekerjaan rumah, selalu kuselesaikan meskipun kadang-kadang  mencontek pekerjaan teman.

Memang kuakui, otak di kepalaku agak kesulitan menangkap materi pelajaran yang diajarkan guru. Apalagi yang namanya mata pelajaran, fisika, matematika dan bahasa Inggris. Ketika belajar mata pelajaran itu, aku tidak bisa memusatkan perhatian Jangankan untuk fokus, malah aku mengantuk. Aku sering berpura-pura melihat ke depan kelas. Berjuang melawan rasa kantuk menyerang.

“Hmmmh…”  Aku menghela nafas pelan. Semester depan aku bertekad mencapai peringkat 10 besar di kelasku.

Tapi bagaimana caranya? Apa yang harus kulakukan? Ahaa… Aku ada ide. Bukankah Boby mendapat peringkat 1 di kelas? Ya, tidak ada salahnya aku belajar pada sang juara kelas itu. Kalau perlu, aku datang belajar ke rumahnya. Siapa tahu aku mendapat resep belajar dari Boby dan ketularan kepandaiannya.

Namun seketika hatiku menjadi resah. Bukankah datang belajar ke rumah Boby akan menimbulkan masalah baru? Aku dan teman-teman di kelas sudah tahu kalau Nita dekat dan suka sama Boby…

“Hoiii, melamun lagi…”
Tiba-tiba sebuah suara mengejutkanku mana kala ia menepuk pundakku dari belakang. Lamunanku jadi buyar.
“Eh, kamu, Bob…” sahutku gelagapan.
“Kenapa kamu belum pulang, Rin?” tanya Boby seraya mengambil tempat di sisiku.
“Aku istirahat disini dulu, Bob. Capek. Habis, nilai semesterku tidak memuaskan,” sahutku berdalih.
“Rini…Rini, jangan terlalu dipikirkan yang sudah lewat…”    
“Bagaimana enggak dipikirkan, Bob?”
“Maksudku, itu ‘kan sudah berlalu. Yang perlu kamu pikirkan, bagaimana caranya untuk merubahnya menjadi lebih baik semester depan, gitu lho,” jelas Boby kemudian
Kembali aku melirik Boby.
“Wah, kebetulan sekali, Bob…”
“Kebetulan apanya?”
“Ajari aku cara belajar biar aku mendapat peringkat 10 besar, ya?”
Boby tertawa. Ia tampak tak percaya dengan ucapanku. Mungkin ia melihat itu sebagai basa-basi semata. Atau mungkin caraku terasa lucu bagi seorang Boby, sang juara kelas bertahan?
“Kok ketawa? Apanya yang lucu?” sungutku kemudian.
“Ekspresi kamu barusan membuat aku tertawa. Sejak kapan kamu pandai bicara serius seperti itu, Rin?” tanya Boby.
“Aku aku serius, Bob. Bantu aku ya?” kataku penuh harap.
“Iya, iya deh…Tapi…?”
“Tapi apa?”
“Ada syaratnya,”
“Apa,”
“Senyum dulu…”
“Iiih…kamu.” Tak sengaja mencubit lengannya. “Hm, apa Nita enggak marah?” selidikku kemudian.
“Kenapa dia yang marah?”
“Dia suka padamu,”
“Siapa bilang?”
“Aku…”
“Dia memang suka padaku tapi aku… tidak.”
“Dia ‘kan cantik…”
“Cantikan kamu…”
Aku tersentak. Tak menyangka ucapan itu meluncur dari mulut Boby. Aku akui memang, Nita memang cantik, anak orang kaya lagi.
“Aku sudah lama suka sama kamu, Rin…” ujar Boby berterus terang.
“Benarkah?”
Boby mengangguk serius.
“Terima kasih atas semua itu, Bob. Tapi, kamu mau mengajari aku cara belajar, bukan?”
“Tentu saja aku mau, Rin.”

Seketika angin sepoi bertiup. Sehelai daun mangga gugur dan jatuh tepat di pangkuanku. Aku tersenyum bahagia. Senyum untuk memulai semester depan dengan penuh semangat.