Mawar Merah Ketiga

Mawar merah ketiga – Sengaja Silfi berangkat sekolah lebih awal dari biasanya. Hatinya masih diliputi penasaran. Kenapa tidak? Sudah dua kali gadis berangkat remaja itu menerima bunga mawar berwarna merah. Namun pengirimnya masih misterius. Dan hari ini sesuai janjinya, si pengirim akan menampakkan diri.

Minggu lalu, Silfi menemukan setangkai mawar merah di dalam laci meja. Ketika itu ia hendak membersihkan laci meja dari sampah kertas.

Kebiasaannya memang, kalau salah menulis lembaran jawaban ulangan harian, selalu meremas dan memasukkan ke dalam laci meja belajarnya. Kemudian menggantinya dengan kertas buku tulis yang baru.

Bunga mawar merah itu amat bagus. Serta merta ia menarik ke luar laci. Memperhatikan helai demi helai daun bunga mawar itu. Silfi mencium aroma harum yang dipancarkan oleh bunga itu. Tak disadari bunga itu sudah menempel di hidungnya.

Tangkai bunga ternyata dililit dengan kertas dan diikat dengan benang jahitan berwarna putih. Silfi membuka ikatan benang, kemudian membuka perlahan gulungan kertas di tangkai bunga.

Silfi membelalakkan mata. Ternyata gulungan kertas itu berisi tulisan. Ditulis tangan dengan tinta emas.

Perlahan Silfi membacanya.

“Silfi, ini mawar pertama yang ku titip dalam laci meja belajarmu. Kamu pasti penasaran, siapa pengirim bunga mawar ini. Namun suatu saat kamu akan mengetahuinya juga. Salam manis.”

Silfi tercenung. Pikirannya mencoba menebak-nebak orang yang telah mengirim bunga mawar merah ini secara diam-diam.

Hendra, kawan sekelasnya kah si pengirim bunga ini? Tapi kayaknya tidak. Soalnya sikap Hendra biasa-biasa saja. Beberapa hari terakhir tak menunjukkan perubahan apa-apa. Masih akrab berteman, bercanda ria bersama ketika jam istirahat di kantin sekolah.

Irwan? Ini yang lebih tak mungkin. Soalnya, Irwan orangnya pendiam dan cuek terhadap semua orang. Ia lebih suka belajar serius. Mendengarkan ceramah guru kemudian mencatat materi pelajaran yang penting. Tak heran kalau Irwan selalu juara di setiap terima rapor. Lalu siapa?

Kemarin, kembali Silfi menemukan bunga mawar merah untuk kedua kalinya. Hatinya semakin penasaran. Ingin mengetahui secepat mungkin seperti yang dijanjikan dalam gulungan surat yang dililitkan pada mawar kedua itu.

“Silfi, aku tahu kamu semakin penasaran karena kamu menemukan lagi mawar kedua di dalam laci meja belajarmu. Kalau kamu tidak menyukainya kuharap kamu tak membuangnya di keranjang sampah. Aku akan segera menampakkan diri di hadapanmu pada saat kamu temukan mawar ketiga besok.”

Sekarang Silfi sudah sampai di pintu gerbang sekolah. Belum banyak memang siswa yang datang pagi itu. Suasana pagi masih diliputi kabut tipis. Embun yang turun malam tadi masih membasahi rumput-rumput di halaman sekolah.

Hatinya berdebar tak menentu ketika sudah sampai di koridor kelasnya. Pintu kelas sudah terbuka. Namun ia tak mendengar suara apapun dari dalam kelas. Hening.

Di mulut ruang kelas, Silfi menghentikan langkahnya. Kemudian mengedarkan pandangan mulai dari bagian depan, sampai pada bagian belakang ruangan kelas.

Dag…dig…dug…der…!

Jantungnya berdegup kencang manakala matanya menatap sosok yang berdiri di sisi kiri bagian belakang ruang kelas. Laki-laki itu berdiri mantap seraya memegang setangkai mawar merah dengan kedua tangannya.

“Irwan…? Kamu…” tiba-tiba mulutnya kelu untuk meneruskan ucapan.

“Iya, aku…., Silfi.” pintas Irwan dengan suara lembut.

Sekan sulit dipercaya oleh Silfi dengan kenyataan ini. Ia memang pernah menebak Irwan sebagai pengirim bunga mawar merah di laci meja belajarnya . Namun sedikit pun ia tak mempercayainya.

Lalu Silfi melangkah pelan menghampiri Irwan yang masih berdiri dengan bunga mawar merah di tangan. Sesampai di hadapan Irwan, gadis SMP itu tiba-tiba menekur. Menatap ujung sepatunya yang memang tidak ada yang aneh.

“Silfi…”

Irwan meraih tangan kanan Silfi pelan. Silfi mengangkat wajah kemudian menatap Irwan dengan perasaan tak menentu.

“Masih maukah kamu, menerima mawar merah untuk yang ketiga ini?”

Silfi mengangguk, pelan. Kemudian meraih perlahan bunga warna merah yang menebar aroma wangi itu.

“Aku sudah lama… suka padamu, Silfi.” ujar Irwan perlahan.

Silfi hanya terdiam, menunggu kelanjutan ucapan Irwan.

“Tetapi aku terpaksa mencari waktu dan cara untuk mengungkapkannya padamu. Sebab, aku khawatir kalau kamu tidak menyukaiku,” sambung Irwan.

“Aku juga…suka…kamu dan …bunga mawar ini,” balas Silfi lembut.

“Benarkah?” tanya Irwan antusias. Sekadar meyakinkan diri.

Silfi mengangguk, seraya tersenyum. Manis sekali…

“Ternyata kamu itu orangnya romantis juga,” kata Silfi dalam hati.***