Sekelumit Nostalgia Kurikulum 2006

Sekelumit nostalgia kurikulum 2006 – Kembalinya diberlakukan kurikulum 2006 dalam pendidikan Indonesia. Seakan menjadi sebuah “reuni” buat saya. Dikatakan demikian karena pernah terlibat dalam penyusunan kurikulum sekolah selama 3 tahun. 

Waktu itu saya menjadi wakil kepala sekolah bidang kurikulum. Tentu saja, bidang tugas yang harus dikuasai dan dikerjakan adalah masalah kurikulum di sekolah.   

Kurikulum 2006 lebih akrab disebut dengan KTSP (Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan). KTSP diberlakukan mulai tahun pelajaran  2006/2007 di semua jenjang pendidikan dasar dan menengah. Kurikulum ini diberlakuka setelah melalui rangkaian proses sosialisasi yang panjang. 

Petunjuk pelaksanaan dan petunjuk teknisnya juga dikeluarkan melalui perangkat perundang-undangan. Sebutlah misalnya, PP Nomor 19 Tahun 2005 tentang SNP (Standar Nasional Pendidikan). 

Begitu pula peraturan tentang petunjuk teknis seperti tertuang dalam Permendiknas Nomor 22, 23, 24, 25 dan 26 Tahun 2006. Disini yang paling mendukung dalam penyusunan kurikulum sekolah adalah standar isi dan standar kelulusan.

Kehadiran kurikulum 2006 waktu itu menurut pandangan kita adalah upaya mengurangi “virus” keseragaman dalam penyelenggaraan pendidikan. Fakta di lapangan menunjukkan bahwa potensi yang dimiliki tiap sekolah berbeda-beda. 

Sekolah di perkotaan, pinggiran kota, pedesaan dan daerah terisolir. Pola pelaksanaan pendidikan tidak mungkin diseragamkan. Masalah ini dijembatani oleh kurikulum 2006.

Oleh sebab itu, penerapan KTSP secara ril dituangkan dalam bentuk kurikulum sekolah. Kurikulum disusun berdasarkan potensi yang dimiliki sekolah, karakter peserta didik, lingkungan sosial dan budaya serta partisipasi masyarakat terhadap pendidikan sekolah.

Resikonya adalah setiap sekolah akan mempunyai kurikulum yang berbeda. Perbedaan itu sendiri akan terlihat kentara dari penargetan nilai kriteria ketuntasan minimal (KKM) setiap mata pelajaran. 

Maka, tidak mungkin sebuah sekolah memakai kurikulum sekolah yang lain.

Guru sebagai pelaksana kurikulum dalam pembelajaran diberi otoritas tinggi untuk menerapkan bagaimana corak dan warna pembelajaran untuk mencapai tujuan setiap kompetensi dasar setiap mata pelajaran. 

Demikian sekelumit nostalgia tatkala berlakunya kurikulum 2006 dalam dunia pendidikan Indonesia.***